Bisnis.com, JAKARTA - Aksara Bali, juga dikenal sebagai Hanacaraka, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Pulau Bali. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa bahasa Bali, Sanskerta, dan Kawi, namun dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sasak dan Melayu dengan tambahan dan modifikasi.
Aksara Bali merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Jawa. Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-15 hingga kini dan masih diajarkan di Bali sebagai bagian dari muatan lokal, meski penerapannya dalam kehidupan sehari-hari telah berkurang.
Aksara Bali adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 18 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Bali adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan sejumlah tanda baca.
Dikutip dari Wikipedia, dahulu, aksara Bali kebanyakan ditemukan dalam media lontar, yakni daun palem yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Media ini telah digunakan di Indonesia sejak periode Hindu-Buddha dan memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Bali, palem yang digunakan sebagai bahan dasar lontar adalah palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan).
Hanya palem dari tempat-tempat tertentu yang daunnya layak dipakai untuk dijadikan media tulis, dan di Bali palem yang dianggap paling baik berasal dari daerah kering di utara kabupaten Karangasem, di sekitar Culik, Kubu, dan Tianyar. Daun palem dipetik pada bulan-bulan tertentu ketika daun palem sudah cukup berkembang namun belum menjadi terlalu tua, umumnya sekitar bulan Maret–April atau September–Oktober.
Daun yang telah dipetik kemudian dibelah dan dijemur, proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan. Setelah itu, daun direndam di dalam air selama beberapa hari, digosok, kemudian dijemur kembali. Setelah pengeringan kedua, lidi tiap daun dibuang. Daun kering kemudian direbus dalam campuran herbal yang bertujuan untuk mengeraskan dan memperkuat lontar.
Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun diangkat, kemudian dijemur kembali namun dibasahi secara berkala. Berikutnya, daun ditekan dengan alat penjepit yang disebut pamlagbagan atau pamepesan agar permukaannya mulus dan rata. Daun ditekan selama kurang lebih 15 hari, namun dikeluarkan secara berkala untuk digosok dan dibersihkan. Setelah dianggap cukup mulus, daun dipotong sesuai ukuran pesanan, dilubangi, dan diberi garis bantu; lembar lontar kini siap ditulisi.
Lembar lontar yang siap ditulisi, disebut sebagai pepesan, memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil yang disebut pangropak atau pangutik. Teknik pengguratan lontar cenderung menghasilkan bentuk yang banyak melengkung dan membulat, hal inilah yang menjadi cikal bakal bentuk aksara Bali. Lembar yang telah ditulisi disebut sebagai lempir.
Setelah selesai ditulis, guratan aksara pada lempir dihitamkan dengan cara diseka campuran jelaga serta minyak kemiri yang akan masuk ke sela-sela guratan dan membuat aksara menjadi lebih jelas terlihat. Setelah selesai dihitamkan, lempir dibersihkan dan diusap dengan campuran herbal seperti minyak sereh yang bertujuan untuk mencegah kerusakan akibat cuaca atau serangga.
Pengusapan ini perlu dilakukan secara berkala agar lempir tetap awet. Kumpulan lempir yang telah ditulisi kemudian disatukan dengan tali yang kedua ujungnya dapat diapit dengan sampul kayu bernama cakepan. Jika tidak diapit dengan cakepan, lontar dapat disimpan dalam kantong kain (ules), tabung bambu (bungbung), atau kotak kayu bernama kropak untuk naskah-naskah yang dianggap sangat penting.