Bisnis.com, JAKARTA - Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Menurut pengobatan tradisional China, ternyata kondisi kesehatan seseorang, tak terkecuali daya tahan tubuh terhadap penyakit dipengaruhi oleh pola makan.
Sinshe Shinta Amelia dari Klinik Shinse Shinta Amelia, Penjaringan Jakarta Utara, mengatakan kondisi kesehatan seseorang tentunya tak bisa dilepaskan dari pola makan. Orang yang kelaparan atau dipaksa untuk merasakan lapar seperti saat diet ketat sangat mudah untuk terserang penyakit lantaran fungsi organnya menurun.
“Orang yang sedang diet ketat ini harus memperhatikan kemungkinan-kemungkinan gejala organ melemah, fungsinya menurun, seluruh tubuh jadi lemah. [Mereka] gampang terkena enam yin. Limpa juga terganggu atau terasa nyeri,” tuturnya.
Sebagai catatan, enam yin yang dimaksud oleh Shinta adalah enam patogen yang masuk ke tubuh menyebabkan penyakit, antara lain angin, dingin, shu (gelombang panas), lembab, kering, dan api. Keenamnya masuk ke dalam tubuh melalui kulit, hidung, serta mulut.
Selain itu, makan terlalu banyak menurut Shinta juga berpotensi mengganggu kondisi kesehatan seseorang. Pencernaan tidak bisa bekerja secara maksimal sehingga menimbulkan berbagai penyakit.
Gejala awal yang umumnya dirasakan akibat makan berlebihan adalah perut kembung, sakit perut, sendawa, asam naik ke mulut, dan muntah. “Lama-kelamaan akan mengganggu fungsi limpa dan menyebabkan xiaoke atau diabetes dari sudut pandang pengobatan tradisional China, obesitas, ambeien dan sumbatan di jantung,” lanjutnya.
Lebih lanjut, kandungan dalam makanan yang dikonsumsi juga mempengaruhi kondisi tubuh. Untuk menjaga kondisi tubuh, makanan yang dikonsumsi setiap harinya harus seimbang sifatnya antara yin maupun yang.
Makanan bersifat yin atau dingin contohnya sayur mayur dan buah-buahan. Sedangkan makanan bersifat yang atau panas antara lain daging dan ikan.
Terlalu banyak mengonsumsi makanan bersifat yin menurut Shinta akan melukai limpa. Sebaliknya, mengonsumsi makanan bersifat yang terlalu banyak membuat lambung menjadi panas, mudah timbul sariawan, dan wasir.
“Untuk rasa, terlalu banyak [makan] makanan yang asam akan menyebabkan [penyakit] liver, pahit itu jantung, manis itu limpa, pedas itu paru, dan asin itu ginjal,” ungkapnya.
Senada dengan Shinta, Ahli Gizi dari dr.Tan & Remanlay Institute, Tan Shot Yen mengungkapkan bahwa mengatur pola makan merupakan kunci untuk menjaga daya tahan tubuh agar tak mudah terserang penyakit, termasuk yang disebabkan oleh bakteri dan virus. “Kita batasi gula, garam berlebih, dan lemak,” tegasnya.
Menurut dr. Tan, konsumsi gula, garam, dan lemak bisa mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 30/2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan pada Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.
Jumlah gula yang boleh dikonsumsi setiap harinya tak boleh lebih dari 50 gram atau setara dengan empat sendok makan. Kemudian untuk garam dan lemak masing-masing setiap harinya maksimal dikonsumsi 5 gram (satu sendok teh) dan 67 gram (lima sendok makan).
Kemudian yang tak kalah penting adalah mengurangi konsumsi makanan ultraproses, terlebih yang menggunakan bahan baku gula rafinasi. Pasalnya, makanan tersebut berpotensi membuat daya tahan tubuh melemah.
“Rafinasi adalah produk yang awalnya bersumber dari alam, tetapi dengan rentetan proses akhirnya tiba di tangan konsumen sebagai barang yang beda banget dengan kebaikan aslinya,” ungkapnya.
Adapun, untuk kebutuhan nutrisi harian dr Tan menyebut berbeda-beda setiap orang bergantung pada usia, aktivitas yang dilakukan, hingga kondisi fisiologis. Namun yang jelas, kebutuhan nutrisi harian yang seimbang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran, dan buah-buahan yang diolah dengan benar.
Sementara itu, untuk menjaga agar nutrisinya tetap terjaga, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Ari Fahrial Syam menyebut makanan yang sudah diolah atau dimasak sampai matang sebaiknya tidak dipanaskan berulang kali. Selama ini, masih banyak masyarakat yang salah kaprah memanaskan makanan berulang kali dengan dalih mematikan virus, khususnya virus SARS CoV-2.
“Gangguan pencernaan [akibat Covid-19] penularan bukan melalui makanan, tetapi melalui droplet,” ujarnya.
Selain itu, pemanasan berulang kali pada jenis makanan tertentu juga berpotensi membahayakan yang mengonsumsinya, seperti memicu kanker, keracunan, hingga penyakit berbahaya lainnya.