Bisnis.com, JAKARTA – Pandemi Covid-19 ternyata memberikan dampak pada mereka yang mengidap Hepatitis.
Studi ASPCOLIS yang dilakukan di Asia Pasifik melihat kasus-kasus Hepatitis B, hepatitis C dan sirosis hati. Dalam studi tersebut, didapatkan mereka dengan penyakit hati kronik 2 hingga 3 kali lipat lebih sering mengalami Covid-19 derajat berat, 10 kali lipat lebih sering mengalami perawatan di ICU dan 6 kali lipat lebih sering mengalami kematian. Jadi, mereka dengan hati kronik terutama sirosis berisiko lebih parah daripada mereka yang tidak mengalami sirosis.
Di Amerika dilaporkan bahwa banyak orang menjadi takut untuk pergi ke rumah sakit selama pandemi, karena takut terpapar Covid, takut bertemu pasien Covid, dan takut masuk rumah sakit yang udaranya dipenuhi oleh virus Covid. Dan terbukti 6 hingga 7 dari 10 pasien dengan Hepatitis B dan Hepatitis C meunuda kunjungan rawatnya selama pandemi Covid-19. Dikatakan juga bahwa penundaan ini membuat pengobatannya menjadi terganggu. Beberapa kondisi terutama terkait skrining ternyata mengalami keterlambatan. Banyak pasien tidak mau mengunjungi faskes karena takut atau cemas.
Dr dr. Irsan Hasan SpPD-KGEH, FINASIM dari Fakultas Kedokteran UI dan RSUPN dr Cipto Mangunkusumo mengatakan, dalam panduan Hepatitis B dan Hepatitis C, disebutkan bahwa pasien Hepatitis harus dipantau, salah satunya pasien harus di USG dan AFP tiap 6 bulan pada pasien hepatitis kronik risiko tinggi.
“Kalau dia tidak datang atau terpantau secara berkala, bisa kecolongan kankernya. Bahkan pasien Hepatitis C yang sembuh tetap harus dipantau. ” kata dr Irsan dalam Temu Media Hari Hepatitis Sedunia, Rabu (28/7/2021).
Dia menyebutkan, dalam kasus liver ini, ada tiga gelombang yang bisa terjadi.
“Gelombang pertama pasien menunda untuk ke rumah sakit. Pada gelombang kedua terjadi dampak keterlambatan. Dan gelombang ketiga ketika di USG, sudah berkembang menjadi kanker. ” jelasnya.
Bahkan dalam beberapa kasus, ada pasien yang pada akhirnya meninggal akibat berhenti minum obat. Padahal untuk penyakit ini sudah ada obat yang efektif, misalnya untuk hepatitis C ada anti virus yang efektif. Dimana targetnya adalah sembuh.
Hepatitis C ini bisa disembuhkan, bahkan obat Hepatitis C sudah cukup ideal karena kesembuhannya tinggi, mudah diminum, namun masalahnya adalah harganya yang mahal.
Untuk itu, dr Irsan mengatakan, Indonesia menyikapinya dengan memasukkan obat tersebut ke dalam obat program, dibantu dengan beberapa kemudahan dari WHO sehingga masyarakat bisa mengakses dalam program Kementerian Kesehatan RI.
Jumlah rumah sakit layanan pengobatan Hepatitis C saat ini sudah ada di 18 provinsi dan 40 rumah sakit yang menyediakan obat tersebut dengan fasilitas pemeriksaan dan pengobatan gratis. Hasilnya cukup baik, dimana 96,1 persen sembuh. Sayangnya pemeriksaan anti HCV pada kelompok berisiko tahun 2021 dibanding 2020 turun 22 persen akibat pandemi Covid-19.
“Kita berharap meski ada PPKM, yang perlu berobat tetap berobat. Nah makanya relevan sekali dengan slogan hepatitis tahun ini, ‘Hep Can’t Wait’. Kita tidak bisa menunggu-nunggu. Kita harus aktif agar masyarakat mendapatkan skrining dan diobati.” katanya.
Health
Pemeriksaan Rutin Pasien Hepatitis Turun Akibat Pandemi Covid-19
Penulis : Ni Luh Anggela
Editor : Mia Chitra Dinisari