Bisnis.com, JAKARTA - Ancaman resistansi antimikroba (AMR) yang membuat bakteri, jamur atau virus penyebab infeksi pada tubuh seseorang lebih sulit ditangani dengan antibiotik, antijamur, atau antiviral sehingga pasien sulit sembuh dan perlu dirawat lebih lama.
Sekitar 7 dari 10 orang yang dirawat di ICU menerima antibiotik sebagai salah satu terapi utama untuk menyembuhkan infeksi.1 Untuk itu, penggunaan antibiotik secara rasional sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya resistansi antimikroba di ruang ICU.
Keterlibatan pasien dan keluarganya memegang peran penting dalam hal mencegah kondisi AMR di ICU. Caranya adalah dengan membangun komunikasi yang produktif dengan tenaga kesehatan terkait.
dr. Vannesi T. Silalahi, Sp.An, MSc, KIC, dokter spesialis anestesi konsultan perawatan intensif menyatakan beberapa poin penting untuk membangun komunikasi dua arah agar meningkatkan pemahaman pihak pasien dan mendorong diskusi lanjutan yang lebih baik mengenai rekomendasi medis dan tenaga kesehatan.
Lebih lanjut dr. Vannesi menjelaskan, terdapat 4 pertanyaan yang dapat membuka diskusi dengan tenaga kesehatan dalam hal pemberian antibiotik yang lebih jitu, sehingga berujung pada meningkatnya kualitas perawatan yang diterima pasien dan menurunnya risiko AMR.
Berikut empat pertanyaan di bawah ini yang dapat membangun komunikasi dengan tenaga kesehatan:
1. Bagaimana penggunaan antibiotik saat ini?
Perlu diketahui bahwa tenaga kesehatan di ICU umumnya memberi antibiotik sedini mungkin (antibiotik empirik) kepada pasien sebagai tindakan darurat untuk menstabilkan kondisi pasien.
Baca Juga Kapan Waktu yang Tepat Minum Antibiotik? |
---|
Tenaga kesehatan menggunakan antibiotik empirik secara cermat dengan menilai beberapa hal, misalnya tingkat keparahan infeksi, lamanya infeksi, serta lokasi dan sumber infeksi.
Pihak pasien dapat menanyakan jenis, dosis, lama penggunaan, rute (cara pemberian), serta efek samping penggunaan antibiotik ini kepada tenaga medis agar mendapat pemahaman yang lebih baik.
2. Bagaimana dengan hasil uji kultur?
Perlu diketahui bahwa sebelum tenaga kesehatan memberi antibiotik definitif kepada pasien ICU, mereka akan melakukan tes laboratorium (uji kultur) untuk mengetahui secara tepat jenis bakteri penyebab infeksi pada pasien. Hasil uji kultur akan keluar dalam beberapa hari, sebagai bahan evaluasi bagi tenaga kesehatan untuk melanjutkan, menghentikan, atau mengganti penggunaan antibiotik yang sudah berjalan.
Beberapa hal yang bisa ditanyakan kepada tenaga kesehatan antara lain adalah apakah akan dilakukan uji kultur, waktu keluarnya hasil uji kultur, alternatif perawatan yang bisa dilakukan setelah hasil uji kultur keluar, serta risiko pemberian antibiotik empirik apabila ternyata infeksi pasien bukan disebabkan oleh bakteri.
3. Bagaimana perkembangan kondisi pasien?
Selain hasil uji kultur, hal lain yang juga menjadi pertimbangan tenaga kesehatan dalam memberikan antibiotik adalah perkembangan kondisi pasien ICU, apakah membaik atau memburuk selama perawatan. Oleh karena itu, pertanyaan ini bisa diajukan secara berkala kepada tenaga kesehatan selama perawatan berlangsung.
Lebih spesifiknya, pertanyaan yang bisa diajukan antara lain adalah seberapa sering tenaga kesehatan akan memberikan informasi terbaru mengenai kondisi pasien, siapa saja yang dapat ditanyai mengenai perkembangan kondisi kesehatan pasien, tindakan lain atau perubahan pemberian antibiotik apa yang akan diterapkan jika kondisi pasien tidak kunjung membaik, dan sebagainya.
4. Bagaimana risiko resistansi antimikroba ditangani?
Pertanyaan ini bisa diajukan ketika rekomendasi medis dari tenaga kesehatan mengandung unsur pemberian antibiotik di dalamnya. Dengan bertanya secara spesifik mengenai langkah pencegahan AMR, pihak pasien pun dapat mengetahui secara pasti langkah-angkah yang diambil tenaga kesehatan untuk meminimalkan risiko AMR.
Beberapa pertanyaan yang bisa pasien atau keluarganya ajukan juga ke tenaga kesehatan misalnya seberapa tinggi risiko terjadinya resistansi antimikroba di ICU, indikator terjadinya resistansi antimikroba terhadap pasien, risiko transmisi bakteri, jamur atau virus yang sudah kebal ke anggota keluarga lain, serta upaya-upaya lain yang bisa dilakukan untuk menekan risiko terjadinya resistansi antimikroba.
Nora Tiurlan Siagian, Presiden Direktur Pfizer Indonesia mengatakan komunikasi dua arah ini akan meningkatkan pemahaman pihak pasien, dan mendorong diskusi lanjutan yang lebih baik mengenai rekomendasi medis dari tenaga kesehatan.
"Dengan begitu, pemberian antibiotik pun menjadi lebih jitu di ICU, hingga berujung pada meningkatnya kualitas perawatan yang diterima pasien dan menurunnya risiko AMR," ujarnya dalam seminar bertema “Peran Nakes dan Keluarga Pasien dalam Mewujudkan Tata Laksana Penggunaan Antimikroba yang Bijak & Rasional di ICU: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna”.