Bisnis.com, JAKARTA - Penyakit tuberkulosis (TBC) masih mengalami peningkatan kasus setiap tahunnya di Indonesia.
Karena itu, perlu peningkatan skrining, dan inovasi pengobatan untuk pasien TBC untuk mencegah kenaikan kasus setiap tahunnya.
Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sampai dengan 2 November 2023, estimasi kasus TBC di Indonesia mencapai 1.060.000 kasus dengan 724.309 kasus sudah terverifikasi.
Artinya, masih banyak dari kasus tersebut yang belum terlacak, sehingga berpotensi terjadi penyebaran lebih lanjut atau terjadi keparahan dan resistensi obat.
Dari kasus tersebut, 110.881 kasus dialami oleh anak-anak, dengan perincian 22 dari 10.000 balita dan 9.5 dari 10.000 anak usia 5-14 tahun.
Terkait pengobatannya, menurut Kemenkes sudah tersedia sejumlah obat-obatan seperti Isoniasid, Rifampisisn, Pirasinamid, Streptomisin, dan Etambutol yang bisa dikonsumsi dalam jangka waktu 6-9 bulan.
Dari pengobatan yang tersedia, apabila dijalani dengan benar tingkat kesuksesan pengobatan dan kesembuhannya mencapai 85 persen.
Namun, lamanya penggunaan obat tersebut kadang membuat orang-orang enggan melakukan pengobatan dengan serius. Terlebih jika tidak bergejala atau gejala yang dialami tidak mengganggu kualitas hidup.
dr. Nurul Luntungan, Ketua Yayasan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) mengatakan bahwa perlu ada upaya pengobatan lain selain pengobatan berbulan-bulan.
"Jadi sekarang inovasi pengobatan TBC terus digencarkan, termasuk advokasi yang dilakukan oleh STPI dan mitra lainnya untuk inovasi pengobatan terus dilakukan," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (4/12/2023).
dr. Nurul mengungkapkan, karena TBC berbeda dengan penyakit kronis lainnya, investasi untuk riset dan pengembangan obat TBC memang besar, namun, sayangnya investasinya masih sangat minim.
Hal ini, katanya, karena penyakit ini menyebar di negara berkembang, sementara penelitian biasanya dilakukan di negara maju yang tidak menjadi "sarang" penyebaran TBC, sehingga penelitiannya tidak menjadi prioritas.
"Itu juga salah satu yang terus didorong di diskusi G20 untuk memenuhi kebutuhan investasi obat-obat TBC agar pengobatannya semakin pendek. Untuk beberapa jenis TBC seperti TBC resisten obat dari yang 2 tahun sudah ada inovasi sehingga pengobatannya bisa jadi 6 bulan," paparnya.
Selain itu, perlu penguatan upaya untuk mendeteksi kasus sebanyak-banyaknya dengan melakukan skrining di berbagai instansi, mulai dari pendidikan hingga kantor-kantor.
Siva Anggita, Director of Partnership Indonesia Muda untuk TB (IMUT) mengatakan hal ini sudah dilakukan oleh IMUT di beberapa universitas.
Dari skrining yang dilakuan, ditemukan kelompok usia 15 tahun ke atas banyak yang terpapar TBC namun tidak mengalami gejala atau gejalanya ringan sehingga tidak merasa terganggu.
"15 persen yang diskrining IMUT memiliki gejala TBC. Tapi karena kegiatan ini memiliki keterbatasan, tindak lanjut ke faskes masih harus dilakukan sendiri, sehingga ada kemungkinan dari mereka juga tidak melanjutkan pengobatan," ungkapnya.
Siva menyebutkan, harapannya langkah-langkah seperti ini bisa diadopsi berbagai kementerian dan lembaga seperti Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan untuk dapat menurunkan kasus dan penyebaran TBC.
"Karena kuncinya untuk mengobati TBC adalah dengan menemukan kasusnya. Bagaimana mereka bisa diobati kalau mereka tidak ditemukan?" imbuhnya.