Bisnis.com, JAKARTA -- Sebanyak 158 Guru Besar UI berkumpul di Lobby Utama Gedung Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, menghadiri "Salemba Berseru", menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kebijakan pemerintah belakangan ini.
Dalam acara tersebut, para guru besar FKUI menanggapi situasi terkini kebijakan kesehatan dari pemerintah yang dinilai berpotensi menurunkan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis, sehingga berdampak langsung pada kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
Dekan FKUI Ari Fajrial Syam menegaskan beberapa hal yang menjadi sorotan antara lain terkait independensi kolegium, yang terbaru tidak sesuai harapan.
Kemudian, terkait framing yang terus dimunculkan, terutama berkaitan tentang bullying PPDS dengan terus membahas kasus yang sudah lama, yang seharusnya dicegah.
Ketiga, terkait mutasi dokter, di mana para dokter sekaligus adalah pengajar di perguruan tinggi, yang bila dimutasi secara tiba-tiba akan berdampak besar pada mahasiswa hingga pasien yang sedang mendapatkan perawatan.
Selain itu, banyak lagi kasus-kasus yang belakangan terjadi di dunia pendidikan kesehatan tidak ditanggapi dengan benar oleh pemerintah.
"Selama ini kami juga aktif memberikan masukan berbasis bukti dan edukasi publik sebagai jembatan antara ilmu dan kebijakan. Namun, kini kami prihatin karena kebijakan kesehatan nasional saat ini menjauh dari semangat kolaboratif tersebut," ungkapnya, Jumat (16/5/2025).
Menurut para Guru Besar FKUI, saat ini alih-alih memperkuat mutu layanan dan pendidikan, kebijakan yang muncul justru berisiko menurunkan kualitas pendidikan dokter dan dokter spesialis, yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan untuk masyarakat.
Adapun, terdapat 6 poin yang menjadi keprihatinan guru Besar FKUI, berikut ini:
1. Pendidikan dokter dan dokter spesialis tidak dapat disederhanakan.
Menjadi seorang dokter bukan sekadar menjalani pelatihan teknis, melainkan melalui proses pendidikan akademik yang panjang, ketat, bertahap sesuai filsafat kedokteran yang mendasari layanan kesehatan oleh seorang dokter. Pendidikan terbaik dilakukan di fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan yang menjalankan pelayanan dan penelitian sesuai standar global.
2. Penyelenggaraan pendidikan dokter di luar sistem universitas memerlukan kerja sama erat dengan fakultas kedokteran.
Tanpa sinergi yang baik, kebijakan ini akan menimbulkan ketimpangan kualitas antar dokter, meningkatkan risiko kesalahan dalam pelayanan medis, dan pada akhirnya merugikan pasien dan masyarakat luas.
3. Pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan mengancam ekosistem pendidikan kedokteran.
Selama ini, dosen yang juga berpraktik sebagai dokter di rumah sakit pendidikan menjalankan peran layanan, pengajaran, dan riset secara terpadu.
Pemisahan peran ini akan merusak sistem yang sudah berjalan dengan baik dan menurunkan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa kedokteran dan dokter muda.
4. Pelayanan kesehatan yang baik hanya dapat diberikan oleh tenaga medis yang dididik dengan standar tinggi.
Apabila mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis diturunkan, maka kualitas pelayanan kesehatan akan ikut menurun.
Hal ini akan berdampak pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi, prevalensi stunting, kasus TB, serta penyakit tidak menular. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya.
5. Koordinasi restrukturisasi dengan institusi pendidikan setelah penetapan RS Pendidikan Utama
Ketika RS Vertikal sudah ditetapkan sebagai RS Pendidikan Utama oleh Kemenkes, maka perubahan struktur termasuk pembentukan Departemen dan mutasi staf medis yang ada harus dikoordinasikan dengan pimpinan institusi pendidikan.
6. Kolegium kedokteran harus dijaga independensinya untuk melindungi mutu dan kompetensi profesi.
Kolegium sebagai lembaga profesi bertanggung jawab menjaga standar kompetensi dan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis di Indonesia.
Kolegium harus tetap mandiri dan bebas dari intervensi kebijakan yang tidak berbasis akademik maupun kepentingan jangka pendek.
Jika peran kolegium dilemahkan, maka akan terjadi degradasi kualitas tenaga medis dan hilangnya kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran di negeri sendiri.
Dengan 6 poin keprihatinan tersebut, Guru Besar FKUI menyatakan sikap, dan menyerukan pemerintah agar:
1. Menjamin bahwa pendidikan dokter tetap berada dalam sistem akademik yang bermutu dan terstandar.
2. Melibatkan institusi pendidikan kedokteran secara aktif dan bermakna dalam setiap perumusan kebijakan, dengan pendekatan yang transparan dan berbasis bukti.
3. Tidak mengorbankan keselamatan pasien dan masa depan layanan kesehatan demi pencapaian target politik jangka pendek atau kepentingan populisme sesaat.
4. Menghentikan framing buruk terhadap profesi dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia yang akan menyebabkan penurunan kepercayaan pada dokter atau tenaga kesehatan bangsa sendiri dan ini dapat dimanfaatkan oleh pelayanan kesehatan negara lain
5. Menegaskan pentingnya peran kolegium profesi kedokteran dan kedokteran spesialis sebagai lembaga independen yang berwenang dalam menjaga standar mutu pendidikan, kompetensi lulusan, serta sistem sertifikasi dan resertifikasi dokter dan dokter spesialis, agar tetap sejalan dengan kebutuhan pelayanan dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran secara global.
Guru Besar FKUI Prof. Siti Setiati menambahkan, pernyataan ini disampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan akademik Dewan Guru Besar terhadap keberlangsungan pendidikan kedokteran dan mutu layanan kesehatan nasional.
"Kami menyampaikan suara ini karena kami peduli terhadap kualitas pendidikan, keselamatan pasien, dan masa depan kesehatan rakyat Indonesia," imbuhnya.