Pengelola pusat perbelanjaan bahwa terdapat perlakuan tidak seimbang antara produk fesyen dengan merek lokal dan global.
Handaka Santosa, Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), mengatakan pemilihan tenancy atau penyewa area ritel di pusat-pusat belanja, termasuk produk fesyen, tidak dipertimbangkan berdasarkan lokal atau global, melainkan segmentasi pasar dari produk tersebut dan pusat belanjanya.
”Kalau di pusat belanja sekelas Senayan City atau Plaza Indonesia, misalnya, tidak sesuai jika tenant-nya menjual produk yang harganya menyasar segmen menengah ke bawah,” jelas anggota Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) itu.
Dia menambahkan jika ada peritel fesyen lokal yang sekarang susah untuk memasarkan produknya di mal-mal Jakarta, hal itu disebabkan oleh membeludaknya permintaan terhadap ruang ritel dalam beberapa tahun terakhir.
Perusahaan Riset dan Konsultan Properti Cushman & Wakefi eld Indonesia mencatat, pasokan ruang ritel di Jakarta pada kuartal I/2013 mencapai 3,84 juta m2, dengan sisa ruang kosong hanya 708.800 m2.
Dengan demikian, tingkat okupansinya bisa diperkirakan lebih dari 80%. ”Kondisi tersebut menyebabkan retailer, yang baru maupun yang ingin ekspansi, saling berebut tempat, dan hal ini menimpa semua merek, lokal maupun global, di berbagai jenis produk,” papar Handaka.
Untuk menegaskan bahwa pengelola pusat belanja tidak membeda-bedakan tenant berdasarkan merek lokal dan global, CEO Senayan City itu menyebutkan sejumlah contoh merek fesyen lokal yang mendapat tempat di pusat-pusat belanja kelas atas.
Beberapa merek lokal tersebut antara lain BIYAN, hasil karya Desainer lokal Biyan, yang mendapat tempat di Pacifi c Place, Batik Iwan Tirta yang tersebar di beberapa mal high-end, hingga butik batik Alleira milik Annisa Pohan, menantu presiden.
Bagaimanapun, Handaka mengungkapkan para pengelola pusat perbelanjaan masih berusaha menunjukkan kepedulian terhadap produk lokal. Salah satunya, seperti yang
dilakukan Senayan City, yakni dengan menggelar acara Java Week, yang menghadirkan produk-produk lokal Indonesia.
”Retailer dengan konsep department store juga pada umumnya mengalokasikan beberapa persen dari produk yang dijajakan untuk merek lokal, tapi kan tidak semua jenis benda ada produk lokalnya. Produk seperti kacamata tidak ada yang lokal,” terangnya.
Saat ini, lanjutnya, komposisi pengisi tenant di pusat belanja Indonesia pada umumnya 60%-70% merupakan produk-produk fesyen, sementara tenant Food & Beverages (F&B) berkisar 30%-40%. Namun, semua itu bergantung pada konsep masing-masing mal.
”Yang jelas, pengelola mal tidak mempermasalahkan mau produk itu merek lokal atau global, yang penting harga yang ditawarkan sesuai dengan segmen dari pusat belanja tersebut,” tegas Handaka sekali lagi.