Show

Merayakan Kebebasan Para Seniman Jakarta Biennale 2013

Miftahul Khoer
Sabtu, 16 November 2013 - 06:56
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Siapa menyangka, seragam sekolah, gerobak dan bajaj bisa menjadi sebuah karya seni yang utuh. Di tangan seniman, apapun barang yang remeh temeh dan tergolong biasa mampu disulap menjadi objek seni yang berbicara.

Inilah yang mengemuka pada perhelatan Jakarta Biennale 2013 yang digelar di ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada 9-30 November 2013. Hampir setiap dinding di ruang tersebut penuh dengan gambar, lukisan, hingga beragam aksesori yang dijadikan sebagai karya seni.

Ajang dua tahunan ini kembali digelar untuk kali ke-15. Jakarta Biennale 2013 kali ini menghadirkan 52 seniman kelompok dan individu dari 18 negara. Para seniman kontemporer Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Argentina, Belanda, Prancis dan negara lainnya berunjuk gigi. Mereka menampilkan beragam karya berkaitan dengan ruang dan tata kota.

Menyimak instalasi Manusia Gerobak karya Abdularahman Saleh atau biasa disapa Maman, sama halnya dengan memungut kembali serpihan ingatan. Dalam instalasi tersebut, kita dihadapkan kepada realitas yang saling bertabrakan dengan apa yang terjadi dalam dunia nyata.

Instalasi Manusia Gerobak, karya seni yang ditampilkan Maman bercerita tentang sebuah keluarga pemulung miskin. Hampir setiap hari, di beberapa titik kawasan Jakarta, manusia gerobak berjalan dari satu titik ke titik lain mencari barang bekas yang bisa dijual. Di sini, Maman dengan sangat jeli mengangkat daya kreatifitasnya membuat sebuah dunia sekaligus menyemangati kaum miskin tersebut.

Maman sebisa mungkin menggambar beberapa objek mulai dari binatang, teks, hingga realitas kota sebagai bentuk keprihatinan. Bukan hanya satu-dua, Maman ternyata melukis gerobak milik pemulung di beberapa lapak sudut kota, Jakarta. Terkadang, isi gambarnya berisi harapan, kritik hingga serangkaian teks jenaka, misalnya: Terima Sampah Masyarakat.

Karya Anton Ismael berjudul Belajar Bekerja berbicara tentang kritik sosial. Anton mencoba mengkritisi dunia kerja yang melulu menuhankan curriculum vitae (CV) sebagai harga mati ketika seseorang melamar bekerja. Pada karya ini, dia menggunakan medium seragam sekolah sebagai objek karya seninya. Seragam sekolah tersebut dicorat-coret laiknya perayaan kelulusan sekolah para pelajar.

Bagi Anton, dunia pendidikan tidak menjamin seseorang sukses dan mahir terhadap skill yang dimiliki. Justru, dalam pandangannya, kepintaran seseorang dalam sebuah kemampuan tidak mesti dilihat dari CV. Dia menolak keras dikotomi antara pendidikan formal dan nonformal.

Dalam karyanya, Anton menggoreskan beberapa teks dan gambar dalam seragam sekolah tersebut. Salah satu seragam yang tergantung misalnya bertuliskan: Seharusnya Pendidikan Memberikan Wawasan Kepada Siswa, Sehingga Mempunyai Pilihan Yang Lebih Luas, Bukan Mematok Siswa Ke Satu Tujuan.

Dalam teks tersebut, secara tegas bisa dimengerti bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Berbagai kasus dan penyelewengan duit anggaran pendidikan banyak dikorupsi. Sehingga, kepercayaan dan semangat pelajar hilang dan membuat pendidikan formal seakan membosankan.

Karya lain yang berbicara tentang ruang dan tata kota yaitu instalasi seniman asal Belanda, CasCo. Dia merangkai tali temali yang dihubungkan dengan tali lain untuk saling berhubungan. CasCo memberikan tafsir bebas bahwa warga kota satu sama lain harus saling berhubungan, berkomunikasi dan saling mengerti.

Sementara karya lukisan dan mural Babi Badalov, seniman asal Prancis berjudul Jakarta Diary merupakan representasi kehidupan dirinya. Babi merupakan seorang nomaden. Dia berpindah dari satu negara ke negara lain. Selama perjalanan, dia merekam kondisi sosial dan ditariknya ke dalam sebuah karya seni baik lukisan ataupun mural.

Secara umum, karya yang ditampilkan dalam Jakarta Biennale 2013 merupakan hasil perayaan kebebasan personal dan kelompok seniman yang terlibat. Ajang ini bukan hanya menampilkan karya di satu tempat, tetapi merambah ke beberapa titik di Jakarta dan mengajak waga sekitar untuk terlibat dalam proses berkesenian.

Ade Darmawan, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2013, mengatakan dalam perhelatan tersebut tidak ada kurator untuk menilai setiap karya. Dia ingin membebaskan seniman untuk mengeskpresikan kebebasannya. “Goal utama ajang ini untuk menghibur warga Jakarta,” ungkapnya.

 

Penulis : Miftahul Khoer
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia Weekend
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro