Film yang dirancang sebagai film televisi ini dijadwalkan tayang di 10 kabupaten di NTT dan disiarkan di stasiun televisi setempat. /bISNIS.COM
Entertainment

FILM INDONESIA: Inerie, Perempuan di Layar Lebar

Ana Noviani
Minggu, 20 Juli 2014 - 16:10
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – “Ibu adalah penerus peradaban, tidak selayaknya lagi mereka mati sia-sia.” Epilog tersebut dengan tegas menyatakan pesan film Inerie yang dirilis Lola Amaria Production House belum lama ini. Hanya butuh waktu 3 pekan dan 20 pekerja film untuk merampungkan proses pengambilan gambar.

Proses syuting berlangsung pada Maret 2014, didahului dengan persiapan dan riset lapangan sejak Oktober 2013 hingga Januari 2014.

Ditilik ke belakang, keterlibatan rumah produksi milik sineas Lola Amaria dalam proyek yang digagas Australia-Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health (AIPMNH) ini berawal dari peluang kolaborasi yang diterima Lola dari seorang teman pada pertengahan 2013.

Peluang yang ditindaklanjuti Lola dengan melakukan pitching dan meeting intensif dengan pihak Australia AID. “Ini isunya perempuan, angka kematian ibu, ini menarik kan? Apalagi saya memang cinta sekali dengan Indonesia Timur. Saya baru balik dari Labuan Bajo dan Komodo, kemudian dapat proyek ini senang banget,” kata Lola, selaku produser Inerie.

Seluruh ongkos produksi berasal dari AIPMNH dan Ausaid. Namun, Lola enggan mengungkapkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menggarap film drama dokumenter ini.

Sutradara muda Chairun Nissa digandeng Lola untuk menggarap film Inerie. Ilun, sapaan Chairun Nissa, dinilai cukup akrab dengan proyek film dokumenter dan memiliki kepekaan terhadap isu perempuan. Sedangkan skenarionya ditulis oleh Gunawan Raharja, yang merupakan salah satu penulis skenario film Kita Versus Korupsi.

Setelah riset yang cukup panjang, Pulau Flores dipilih sebagai lokasi pengambilan gambar film Inerie. Alasannya, Pulau Timor dan Sumba di Nusa Tenggara Timur sudah terlalu sering dijadikan lokasi syuting oleh sineas Tanah Air.

Tak hanya itu, eksotisme alam, keunikan budaya, keindahan kain ikat, dan keramahan masyarakatnya juga membuat Lola jatuh cinta pada Pulau Flores.“Pilihannya kan memang NTT, saya bilang boleh tidak saya pilih Flores, ternyata disetujui dan langsung jalan syuting,” ungkap Lola.

Sebagian besar pengambilan gambar film Inerie dilakukan di kampung adat Desa Tololela. Lokasinya berjarak sekitar 29 km dari ibukota Kabupaten Ngada, Bajawa dan dapat ditempuh dengan 45 menit berkendara, ditambah 1 jam mendaki lereng gunung Inerie -nama yang dicuplik menjadi judul film ini. Dalam bahasa Bajawa, Inerie berarti mama yang cantik.

Pemilihan lokasi di lereng gunung  Inerie diakui Ilun cukup merepotkan proses syuting. Terutama terkait pengangkutan alat-alat produksi, seperti kamera, boom, lighting, dan master control.

Dalam film yang berdurasi 72 menit ini, hanya satu aktor yang diboyong dari Jakarta. Dia adalah Maryam Supraba, putri mendiang seniman W.S. Rendra, yang memerankan tokoh utama bernama Maria Bella. Selebihnya, sang produser Lola Amaria memutuskan untuk menggunakan talent lokal Bajawa. Salah satunya, Emanuel Tewa yang memerankan sosok Bello, saudara kembar Bella.

KETERLIBATAN WARGA

Beruntung, antusiasme warga untuk ambil bagian dalam film ini cukup besar. Ilun berkisah banyak warga yang mengorbankan waktu berkebun, memberi makan babi, dan pergi ke gereja untuk mengikuti rapat dan pelatihan syuting Inerie.

“Tapi mereka kan baru pertama kali syuting, mereka tanya mengapa adegan harus diulang-ulang padahal sudah bagus. Hal-hal seperti itu yang harus saya jelaskan lagi. Hasilnya cukup memuaskan, sangat natural,” ucap Ilun.

Sebagai sutradara, Ilun menerapkan pola “syuting sehat” dalam penggarapan film Inerie. Ilun menghindari syuting hingga malam hari agar masyarakat tidak jenuh dan kelelahan.

Sementara itu, Maryam, —yang akrab disapa Memey—, mengaku terpukau dengan eksotisme alam dan budaya Flores. Untuk mendalami peran sebagai perempuan muda Flores, Memey turut serta dalam proses riset, bahkan ikut berkebun dan menginap di rumah warga Tololela.

“Kendala utama itu belajar bahasa, karena satu desa dengan desa lain bahasanya beda-beda, kebiasaannya juga beda. Tapi ini pengalaman yang luar biasa, sangat menyenangkan,” kata perempuan berkulit sawo matang ini.

Alhasil, logat Flores sangat kental dalam penampilan Memey di film  Inerie  yang sebagian dialognya menggunakan bahasa Bajawa. Dia bahkan sempat diduga berdarah Timor lantaran penampilannya yang eksotis dengan kulit kecoklatan berbalut kain tenun Flores.

Inerie dibuka alur cerita kilas balik masa kecil dari tokoh yang bernama Bella dan Bello. Kedua anak ini harus kehilangan sang ibu yang meninggal dalam proses persalinan. Kematian ibu, membuat saudara kembar itu hanya tumbuh dengan kasih sayang ayahnya.

Dua puluh tujuh tahun berselang, Bello diceritakan tengah dalam perjalanan pulang ke desanya usai merantau di Pulau Jawa, sedangkan Bella telah menikah dan sedang hamil.

Selama kehamilan, Bella mengalami sejumlah masalah kesehatan. Kehamilan tersebut mengancam nyawa Bella dan bayinya. Tak ingin Bella bernasib sama seperti mama mereka, Bello menyarankan agar saudarinya itu memeriksakan diri ke Puskesmas. Namun Bella menolak dan berkata, “Puskesmas itu jauh.”

Selain kendala geografis,Ineriemencoba menggambarkan bahwatingginya angka kematian ibu di NTT juga disebabkan oleh aturan adat masyarakat Flores yang mengharuskan setiap bayi dilahirkan di desa dan hanya boleh ditangani oleh dukun bayi.

Film yang dirancang sebagai film televisi ini dijadwalkan tayang di 10 kabupaten di NTT dan disiarkan di stasiun televisi setempat.

Penulis : Ana Noviani
Editor : Fatkhul Maskur
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro