Selain dikenal sebagai seniman, sejak 1980-an Butet Kartaredjasa mengawali kariernya sebagai jurnalis. Di sela-sela kesibukannya bermonolog, berteater bersama Teater Gandrik, main film dan TV-Play, Butet yang doyan tamasya kuliner menyempatkan diri dolan ke Kota Cepu, Jawa Tengah, mencari sisik melik relasi makanan dan minuman dengan gairah hidup masyarakat. Berikut ini kesaksian dan catatannya (Red).
Jika Anda orang Cepu, Jawa Tengah, dan ingin berdusta, mengakulah kalau Anda tidak kenal kopi “Kothok”. Bisa dibilang predikat minuman tradisional yang dibikin secara khas dan unik ini, telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat di sana. Menyatu dalam sejarah manusia Cepu. Minimalnya, satu dua teguk, penduduk asli Cepu tentu pernah mencicipi.
Dan seumpama pembaca datang ke Kota Minyak yang terletak di perbatasan Jateng-Jatim ini tanpa mencicipi gurihnya kopi kothok, kayaknya kunjungan terasa kurang sempurna, - sebagaimana ke Surabaya tanpa menyantap rujak cingur atau ke Yogya tanpa mengunyah gudeg.
“Ngopi di sini bisa bebas, merdeka, mau omong apa saja bisa,” kata Mudjiono, sopir Pertamina Wilayah Cepu, yang mengaku sejak SD terbiasa minum kopi kothok. Lelaki yang punya panggilan akrab Mudmerah ini, mengawali kerja dengan minum kopi kothok di kedai sederhana Mbah Seger di Jalan Diponegoro.
Di situ, sejak subuh puluhan orang hilir mudik, bergantian nongkrong dan bercengkerama seraya menikmati kopi racikan khas Sri Rusmiyati, 67, penerus Mbah Seger yang kini berstatus almarhum. Para peminum kopi kothok Mbah Seger umumnya para sopir, pegawai kantoran, karyawan Pertamina, mahasiswa, guru dan pelajar sekolah menegah.
“Kalau belum ngopi tuh, rasanya gimana gitu…,” lanjut Mudmerah seraya menerangkan, di kedai ia bisa bertukar pikiran dengan siapa saja. Menggosip perkara politik lokal maupun nasional, ngobrol soal kesehatan, bergunjing batu akik maupun berdebat aneka problem kehidupan. Semua diskusi mengalir full persaudaraan, dan biasanya dibungkus humor yang membikin tawa cekakakan kerap terdengar mewarnai kedai yang sejak tahun 1980 melayani penggemar kopi.
Dicampur Kelapa
Kegairahan seperti ini bukan hanya terjadi di warung Mbah Seger. Tapi juga di sudut-sudut kampung lain seperti – untuk menyebut beberapa nama -- warung Mbah Tas di desa Mrenung, Mbah Las desa Merah, dan Mbah Sariyem di Ledok.
“Dulu di dekat sini Mbah Karsi juga jualan, tapi sekarang orangnya sampun seda, sudah meninggal,” kata Sutitah, 87, isteri Mbah Seger yang kini absen jualan karena kakinya bermasalah setelah terjatuh.
Sri Rusmiyati adalah generasi kedua kopi kothok Mbah Seger. Sejak lima tahun lalu dia menggantikan ibunya, meneruskan usaha yang dirintis Mbah Seger dan isterinya sejak 1970-an. “Dulu harga secangkir kopi kothok Rp100,- terus naik jadi, 200, 300, 400, 500 dan sekarang dua ribu rupiah,” kenang Sutitah.
“Saya masih ngalami secangkir kopi di sini harganya 500 rupiah. Ditambah dua potong pisang goreng, habisnya cuma seribu rupiah,” Mudmerah menimpali sambil menyeruput kopi kothoknya.
Menurut pengakuan Sutitah, dia selalu menyediakan kopi yang benar-benar baru. Setidaknya tiap dua hari ia musti menumbuk lima kilogram biji kopi, yang prosesnya disangrai dulu dengan rajangan kelapa tua. Untuk takaran sekali seduh, resep Mbah Seger menyarankan komposisi 1,5 sendok teh gula pasir dan 2 sendok teh kopi. Ukuran ini tinggal dikalikan jumlah pesanan, lalu direbus dalam sebuah tabung silinder yang disebut kothok. Yaitu, tabung alumunium bekas kaleng roti camilan, diberi tangkai panjang sehingga bentuknya mirip gayung dan salah satu sisinya ada cucuk lancip untuk menuang cairan kopi mendidih ke cangkir.
“Kalau biasanya orang bikin kopi tuh di-cong, kopi bubuk dan gula diseduh dalam gelas, kalau di sini, kopi dan gula direbus barengan sampai mendidih,” jelas mbak Sri seraya menerangkan, “Kalau tidak suka kopi hitam, biasanya ditambah susu bubuk.” Mudmerah, pelanggan yang kecanduan kopi kothok karya Mbah Seger kasih penilaian,“Campuran kopi dengan irisan kelapa itu membuat rasa kopi menjadi manis, gurih, kasar, dan itu tandanya nikmat.”
Perekat Persaudaraan
Ibaratnya, kopi kothok telah menjadi simbol kebersamaan dan perekat persaudaraan. Orang yang semula tidak saling kenal bisa mendadak akrab, bahkan dari situ bisa tercipta peluang-peluang usaha yang saling menguntungkan. Pendeknya lalu lalang informasi soal apa pun bermuara di situ, termasuk info harga tanah di Cepu dan Bojonegoro yang belakangan semakin melejit setelah Blok Cepu sejak tahun lalu mengebor minyak bumi ratusan ribu barrel per hari.
Bahkan omongan bisik-bisik soal tawaran investasi mengolah sumur-sumur minyak tua yang kini makin marak di Wonocolo, Bojonegoro, seringkali juga terdengar di sini. Tapi terdengarnya tetap secara bisik-bisik karena bisnis ini, -- yang konon bikin bos-bos dari Jakarta bahkan Singapura menanamkan milyaran rupiah -- berada di wilayah abu-abu. Bisnis ini memang berada dalam ketegangan hukum dan undang-undang dengan keberpihakan terhadap nasib penduduk setempat dan pekerja tambang yang umumnya rakyat miskin.
Biarlah soal begituan jadi pe-er-nya para birokrat, aparat hukum dan para pemangku kepentingan lainnya. Yang pasti, dari fenomena kopi kothok kita tersadar. Ternyata semangat manusia-manusia kota (tepatnya kecamatan) penghasil energi Cepu, Blora, Jawa Tengah ini, kekuatan energinya bermula dari secangir kopi kothok.
Itu berlangsung sejak zaman kolonial, 1879, sejak insinyur asli Belanda, Stoop Adrian, yang bekerja di perusahaan minyak Donsche Petroleum Maatschappij (DPM) pertama kali menemukan kandungan minyak dan gas bumi di sekitar Cepu dan beberapa tempat di Kabupaten Bojonegoro.
Kita diyakinkan kembali, yang lokal dan tradisional ternyata tetap bisa keren. Bahkan yang lawasan dan sering dipandang dengan mata terpicing itu, nyatanya menyimpan kekuatan yang boleh dipertarungkan dengan kedai-kedai kopi branded berhawa sejuk di mall-mall mewah di kota besar.***