Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah mendorong para insan perfilm-an untuk segera membentuk Lembaga Manajemen Kolektif yang khusus menangani royalti bagi para pelaku industri film.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Ahmad M. Ramli menyatakan pihaknya menginginkan adanya LMK khusus film, seperti LMK yang sudah berdiri untuk memungut royalti musik. “Kami inginnya para pelaku industri film segera membentuk LMK yang bertugas memungut dan mengawasi royalti film,” ujarnya kepada Bisnis, belum lama ini.
Ramli menjelaskan bahwa Undang-undang Hak Cipta yang baru membolehkan pembentukan itu. Namun, yang membentuk harus dari kalangan pelaku industri itu sendiri. “Ini kan bukan lembaga negara, tetapi lembaga antar pelaku-pelaku industri,” katanya.
Menurut Ramli, royalti tidak hanya diwajibkan bagi penggunaan film secara utuh. Tetapi juga penggunaan film yang dipotong-potong. Dia menegaskan bahwa pihaknya siap memfasilitasi jika para pegiat film membutuhkan bantuan terkait pembentukan LMK tersebut.
Seperti diketahui, pasca disahkannya UUHak Cipta, Kementerian Hukum dan HAM membentuk dua lembaga baru, yakni LMKN Pencipta dan LMKN Hak Terkait. Selain Rhoma Irama, tercatat nama James F Sundah, Adi Adrian, Imam Haryanti, dan Slamet Adriyadie sebagai komisioner LMKN Pencipta.
Adapun komisioner untuk LMKN Hak Terkait adalah Sam Bimbo, Djanuar Ishak, Miranda Risang Ayu, Ebiet G Ade, dan Handi Santoso. Menurut UU Hak Cipta, dua lembaga itu diharapkan bisa membantu para pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait untuk menjaga karya dengan mengumpulkan royalti dari penggunaan secara komersial karya cipta lagu dan musik.
Ramli menyatakan, saat ini selain LMK musik, ada juga LMK buku. Namun, untuk film, belum ada lembaga yang mengawasi dan mengumpulkan royalti. “Sementara ini fokusnya masih kepada royalti di industri musik. LMK Film nantinya saya harapkan lebih banyak memungut [royalty] dari penyedia konten seperti Youtube,” jelas Ramli.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bada Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf juga mendukung adanya pemungutan royalti untuk penggunaan karya film, fiksasi, atau siaran televisi, baik secara utuh maupun sepotong-sepotong oleh pihak lain untuk tujuan komersil.
Berdasarkan data Bekraf, industri film Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara sesama Asia, Korea Selatan. Industri film Korea mampu menyumbang US$6,6 miliar ke dalam pendapatan domestik produk (PDB) negara tersebut. Angka itu jauh lebih besar dari industri makanan, minuman, tekstil, bahkan tembakau di negara itu.
Sedangkan Indonesia, dengan jumlah penduduk tiga kali lebih banyak dari Korea, industri film-nya hanya mampu menyumbang kurang dari 0,1% ke PDB. “Film adalah produk industri budaya dan hiburan yang sangat padat modal. Pelanggaran terhadap HKI atas produk film seperti membiarkan tubuh mengalami pendarahan yang mematikan,” ujar Triawan.