Bisnis.com, JAKARTA - Niatan untuk menumpas pembajakan film bukanlah gagasan baru. Tahun ini, pemerintah kembali menunjukkan keseriusan. Mungkinkah berhasil?
Sejak saat memasuki era digital, pembajakan sudah mulai meresahkan pelaku industri film. Sejak saat itu pula, usaha untuk memberantasnya muncul. Tetapi hingga kini, film bajakan masih melenggang dan berseliweran di hampir setiap komputer jinjing hingga dijual bebas di pusat-pusat perbelanjaan. Lantas apa yang harus dilakukan?
“Menonton di bioskop itu mahal, makanya banyak masyarakat Indonesia yang memilih membeli bajakan,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla pada suatu kesempatan di hadapan sejumlah pelaku industri film dan pembuat kebijakan.
Memang, maraknya penjualan film bajakan menajdi semacam aksi dan reaksi. Demand yang semakin besar, membuat supply juga diperbanyak. Pernyataan JK tampaknya ingin menjawab akar persoalan tentang mengapa orang-orang lebih memilih menonton film bajakan dibandingkan nonton di bioskop?
Di Jakarta saja, untuk menonton film di bioskop, kita harus merogoh kocek paling sedikit Rp30.000. Itu pun di hari-hari biasa. Jika ingin menonton di akhir pekan maka harus rela membayar Rp50.000 untuk satu film.
“Masih banyak buruh yang penghasilannya mungkin Rp50.000 per hari. Tidak mungkin mereka bisa nonton di bioskop, jadilah mereka membeli film bajakan yang Rp7.000 saja,” kata JK.
Dia juga mengkritik penyebaran bioskop yang hanya di kota-kota besar. Sementara sasaran penonton juga ada di seluruh pelosok negeri. “Mereka yang di kotanya tidak punya bioskop mau menonton di mana? Pilihan mereka ya hanya membeli film bajakan,” ungkapnya.
Apa yang dipaparkan JK agaknya cukup menggelitik. Salah satu cara meminimalkan pembajakan film adalah tersedianya bioskop di berbagai penjuru negeri dengan harga yang terjangkau masyarakat. Bioskop tidak perlu mewah dan berada di dalam mall. Selama layak dan harganya terjangkau, orang-orang pasti akan berbondong ke bioskop.
Persoalan mahalnya tiket bioskop ketidakmerataan persebarannya hanya satu dari berbagai persoalan yang harus dihadapi terkait usaha pemberantasan film bajakan ini.
Seorang sutradara muda Angga Sasongko angkat bicara. Dia mengeluhkan betapa pemerintah tampak melakukan pembiaran terhadap pembajakan film secara fisik yang kian marak.
Dia juga merasa kecewa dengan Undang-undang tentang Hak Cipta yang berdasarkan delik aduan. Angga menilai dengan delik aduan, kasus-kasus pembajakan film yang sudah tampak jelas dan sangat terorganisir menjadi tidak bisa diproses langsung tanpa adanya aduan.
“Delik aduan ini mengecewakan, saya merasa pembajakan film dalam bentuk fisik ini bentuknya organized crime, jadi butuh butuh penanganan yang komprehensif,” paparnya.
Angga mencontohkan pedagang DVD bajakan di Pasar Glogok yang keberadaannya sudah diketahui seluruh warga Jakarta, tetapi tidak ditindak. “Padahal kantor polisi ada 100 meter dari situ,” katanya.
Menanggapi ini, Dirjen HKI Kementerian Hukum dan HAM Ahmad M. Ramli menyatakan delik aduan merupakan yang paling tepat. “Bagaimana kami bisa tahu ada pelanggaran hak cipta jika tidak ada laporan dari pemilik hak cipta?,” ujarnya. Menurut Ramli, delik aduan bukanlah suatu hambatan karena pengaduan bisa dilakukan secara online.
Menurut Angga, untuk kasus-kasus pembajakan secara fisik yang sudah tampak jelas, pemerintah harusnya bisa menindak tegas tanpa perlu adanya aduan. “Polisi kan bisa melihat dengan jelas kalau itu pembajakan,” ungkap Angga.
Menurut pantauan Bisnis, di kawasan Kemang juga ada beberapa toko film bajakan yang menjual DVD bajakan dengan cara yang tampak profesional. Toko dengan luas sekitar 70 meter persegi dan bersisikan ratusan hingga ribuan DVD bajakan yang tertata rapi itu selalu ramai pengunjung.
Harganya terbilang murah yakni Rp7.000 dengan kualitas cukup bagus. Pembeli yang datang bukan hanya warga kelas bawah, sejumlah pengunjung mengendarai mobil hingga ekspatriat tampak meramaikan toko itu. Seperti yang dikatakan Angga, pembajakan film dalam bentuk fisik memang sudah menjadi sebuah tindakan kriminal yang terorganisasi.
Pembajakan film sendiri tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, di dunia maya, berbagai situs mengambil keuntungan dari penyediaan film bajakan secara gratis.
Kemeterian Komunikasi dan Informatika, melalui panel Hak Kekayaan Intelektual yang dibentuknya berencana akan melakukan pemblokiran hingga penutupan atas situs-situs pembajak film tersebut. Namun, seberapa efektif penutupan situs ini bisa dilakukan?
Pasalnya, hal yang sama pernah dilakukan untuk menangani pornografi. Tapi para pengguna internet tidak kehilangan cara untuk tetap bisa mengakses situs tersebut. Pertanyaannya adalah, seberapa tangguh tim IT dari Kemkominfo?
Usaha pemerintah melindungi industri perfilman tentu sebuah angin segar bagi para pelaku industri untuk terus tumbuh. Namun, ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Tidak hanya dengan menindak pelaku pembajakan dan menutup situs pembajak film, tindakan-tindakan preventif harus gencar dilakukan. Ketersediaan bioskop yang terjangkau bagi masyarakat kecil itu tentu dibutuhkan. []