Bisnis.com, JAKARTA-- Hasil penelitian mengungkapkan bahwa bakteri berpotensi untuk digunakan sebagai metode diet.
Para ilmuwan berhasil membuat bakteri melalui metabolisme molekul normal yang dapat menekan rasa lapar.
"Ini menawarkan program penurunan berat badan yang potensial," kata Sean Davis, pakar molekul dari Vanderbilt University, seperti dikutip dari Science Daily.
Davies dan rekan penelitiannya akan menjelaskan temuan itu dalam pertemuan National Meeting and Exposition of the American Chemical Society ke-249.
Melalui pembiayaan riset dari National Institute of Health, Davies dan rekan membuat bakteri yang biasanya dihasilkan di usus halus setelah makan, N-asil-phosphatidylethanolamines (NAPEs).
Bakteri ini lalu dengan cepat diubah menjadi bakteri yang dapat menekan nafsu makan, N-asil-ethanolamines (Naes). Caranya dengan mengubah gen dari strain bakteri probiotik menjadi NAPEs.
Setelah berhasil mengubah genetika strain bakteri probiotik, tim peneliti kemudian mengujinya pada sekelompok tikus yang obesitas dan memiliki gejala diabetes.
Hasilnya, berat badan tikus ini berhasil turun dengan drastis. Berat badan tikus itu juga turun 15 persen lebih cepat dalam delapan pekan dibandingkan dengan tikus yang juga diberi program diet tanpa bakteri.
Berat Badan Ringan
Tak hanya itu, kadar metabolisme tikus dan jumlah glukosa dengan program diet bakteri lebih baik ketimbang tikus tanpa bakteri. Berat badan tikus dengan program pun jauh lebih ringan setelah 12 pekan terakhir.
Davies mengatakan, perubahan gaya hidup dan penggunaan obat-obatan tidak berdampak signifikan terhadap penurunan berat badan. Kebanyakan orang akan kembali mendapatkan berat badan yang berlebih jika tidak dibantu dengan pengurangan pola makan.
Dalam beberapa tahun terakhir banyak penelitian menunjukkan populasi bakteri yang hidup dalam usus mungkin menjadi faktor kunci dalam menurunkan obesitas.
"Strategi mikroba usus patut dicoba," ujar Davies.
Dia mengklaim diet mikroba merupakan perawatan yang mudah. Tujuannya hanya untuk menghasilkan bakteri terapi yang hidup dalam usus manusia selama enam bulan sampai satu tahun dan memberikan pemberian obat berkelanjutan.
Metode ini, kata Davies, jelas berbeda dengan program obat penurunan berat badan yang biasanya harus diminum setiap hari.
Namun, penelitian Davies ini tidak terlepas dari risiko. Kendala utamanya ialah mencari orang yang cocok untuk uji coba klinis. Sebab, tidak semua orang cocok dengan bakteri tersebut.