Ilustrasi/Mirror.co.uk
Health

Hati-Hati, Anak Bisa Stres Akibat Terlalu Banyak Les

Wike Dita Herlinda
Kamis, 3 September 2015 - 17:34
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA- Akhir tahun lalu, dunia maya dikejutkan oleh sebaran cerita tentang seorang anak berusia 6 tahun yang terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) akibat depresi yang dideritanya karena terlalu banyak tekanan untuk mengikuti berbagai kursus atau les tambahan.

Pada akhirnya, cerita tersebut terkonfirmasi sebagai sebuah isapan jempol atau hoax. Terlepas dari ketidakbenaran kisah itu, problema keluarga seputar orang tua yang terlalu memaksakan anaknya mengikuti berbagai les tambahan masih jamak terjadi di perkotaan.

Sejak rentang waktu Sekolah Dasar (SD), anak-anak ‘zaman sekarang’ sudah dijejali dengan kegiatan ekstrakulikuler, yang dipercaya dapat mendongkrak daya saingnya di sekolah. Sayangnya, tidak semua anak menikmati kursus tambahan di luar jam sekolah.

Psikolog anak dan keluarga dari Lembaga Psikologi Terapan Unversitas Indonesia (LPT UI) Mira D. Amir menjelaskan pada dasarnya anak memiliki keterbatasan fisik untuk menyerap pengetahuan.

Apalagi, saat ini hampir seluruh sekolah menerapkan sistem full day school, di mana jam sekolah baru berakhir sekitar pukul 15.00 atau 16.00. Jika anak masih harus mengkuti les tambahan di rumah atau luar rumah, biasanya mereka baru selesai setelah pukul 19.00.

Kelelahan secara fisik yang mungkin diderita anak dengan jadwal terlalu padat, lanjut Mira, dapat mengganggu kestabilan emosional. Sayangnya, tidak semua orangtua dapat langsung memahami saat anaknya menunjukkan gejala-gejala gangguan psikologis.  

“Anak jadi mudah marah atau cepat kesal saat fisiknya kewalahan. Celakanya, seringkali orangtua tidak memahami anaknya butuh istirahat sepulang les. Anak pulang, masih ditanya lagi soal pelajaran, jika tidak bisa jawab, disuruh belajar lagi sampai larut malam.”

Anak yang merasa tertekan karena dituntut untuk menjadi ‘pintar’ melalui berbagai les tambahan juga berpotensi melakukan tindakan destruktif sebagai bentuk protes. Hal tersebut justru kontraproduktif dengan tujuan orang tua dalam mengkursuskan anaknya.

Gejala-gejala gangguan psikologis yang ditunjukkan oleh anak yang sedang stres biasanya berupa penurunan motivasi belajar, mudah lelah, sulit makan, banyak melakukan pelanggaran di sekolah, membuat kerusuhan di kelas, maupun menentang atau membantah orang tua.

“Manusia pada dasarnya membutuhkan istirahat. Banyak orangtua yang belum paham bahwa saat anak-anak belajar di sekolah, mereka telah mengeluarkan energi yang besar. Jadi, sebisa mungkin sepulang sekolah ada waktu untuk istirahat,” jelasnya.

Waktu istirahat bisa dalam bentuk tidur siang, sekadar rileks menonton televisi atau bermain gadget, maupun melakukan aktivitas lain yang disenangi anak untuk mengistirahatkan otak. Namun, banyak orang tua yang beranggapan aktivitas tersebut tidak berguna.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro