Skizofrenia/asek.us
Health

Penderita Skizofrenia Butuh Dukungan untuk Hidup Normal

Tisyrin Naufalty Tsani
Senin, 12 Oktober 2015 - 00:30
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang membuat seseorang mengalami gangguan otak kronis sehingga akan terganggu proses berpikirnya.

Orang dengan skizofrenia kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga membuat mereka seringkali tersingkirkan dari kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat.

Padahal sejatinya, jika mereka mendapat pengobatan dan dukungan yang kuat, penderita skizofrenia juga berkesempatan untuk kembali memegang peran di tengah masyarakat,

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober bisa menjadi momen yang tepat untuk kembali membuka kesadaran tentang skizofrenia. Sejauh ini, orang dengan skizofrenia masih menerima stigma dari lingkungannya, dan tak jarang harus dipasung sehingga tidak mendapatkan kesempatan untuk hidup selayaknya.

Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2013 mencatat jumlah penderita skizofrenia di Tanah Air sebanyak 400.000 orang. Namun, menurut psikiater RSCM Kencana AAAA Kusumawardhani, data tersebut belum memperlihatkan jumlah penderita skizofrenia secara keseluruhan. “Tidak semua melaporkan jika ada anggota keluarganya yang terkena skizofrenia,” katanya.

Hal tersebut dikarenakan masih adanya stigma atau anggapan negatif di tengah masyarakat tentang skizofrenia, seperti misalnya orang dengan skizofrenia adalah korban santet.

Dalam keseharian, penderita skizofrenia akan memperlihatkan gejala berupa waham, halusinasi, dan pergolakan emosi. Waham yang dimaksud adalah mereka beranggapan orang lain membaca pikiran mereka, atau merasa seakan-akan orang lain akan menyakiti mereka. Dalam hal halusinasi, mereka kerap mendengar suara yang tak terdengar oleh orang normal.

Untuk mengetahui gejala skizofrenia, diperlukan upaya deteksi dini yang dapat dilakukan yakni dengan melakukan observasi terhadap anggota keluarga yang dicurigai terkena skizofrenia.

Selain itu, mereka yang mengidap skizofrenia biasanya akan memperlihatkan perubahan perilaku seperti mengurung diri, tidak mau bertemu dengan orang lain, berbicara dengan kacau, hingga mendengar suara yang tidak jelas sumbernya. “Kalau ada yang seperti itu, jangan tunggu lama-lama segera periksakan saja,” katanya.

Sejauh ini, penyebab pasti skizofrenia belum diketahui. Meskipun begitu sejumlah ilmuwan menyebutkan beberapa faktor penyebab, yaitu genetika, struktur dan biokimia otak, kelainan bawaan yang terjadi pada masa kehamilan, dan cara berinteraksi dalam keluarga. Trauma pada kepala juga diyakini dapat memicu skizofrenia. Selain itu, penyalahgunaan zat terlarang seperti ganja juga dapat memperbesar risiko skizofrenia.

KENDALIKAN GEJALA

Orang dengan skizofrenia harus mengonsumsi obat untuk mengendalikan gejalanya. Jika skizofrenia terdeteksi secara dini, setelah minum obat dengan teratur selama dua tahun kondisinya memungkinkan untuk dapat pulih sehingga tak perlu bergantung obat lagi.

Namun, jika setelah melewati episode pertama tersebut gejalanya sempat mereda, kemudian tiba-tiba kambuh lagi artinya pasien mengalami multiepisode dan harus melanjutkan kembali mengonsumsi obat selama lima tahun.

Apabila setelah lima tahun gejala reda, kata Kusumawardhani, konsumsi obat-obatan bisa dihentikan, tetapi mereka harus tetap berkonsultasi ke dokter setidaknya sebulan sekali karena kemungkinan muncul gejala lagi setelah lima tahun tetap ada.

Orang dengan skizofrenia yang memperlihatkan tingkah menyerang dirinya sendiri atau orang lain bahkan harus selalu bergantung pada obat untuk mencegah terjadinya hal-hal berbahaya.

Dia menekankan konsumsi obat saja belum cukup bagi orang dengan skizofrenia, seharusnya mereka dilatih keterampilan untuk kembali menjalankan fungsinya di tengah masyarakat. “Jadi begitu dia remisi, kembalikan ke fungsi sebelumnya misalnya pelajar, atau pekerja,” katanya.

Dalam hal ini keluarga harus memberi dukungan penuh, bukan mengucilkan mereka. Banyak keluarga yang melarang mereka sekolah atau bekerja.

Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Eka Viora juga mengungkapkan bahwa orang dengan skizofrenia harus mengkonsumsi obat dan diberi keterampilan serta rehabilitasi.

Saat ini, pasien gangguan jiwa telah mendapatkan perlindungan melalui Undang-Undang Kesehatan Jiwa No 18/2014, yang di dalamnya terdapat upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif terhadap kesehatan jiwa.

UU ini meminta agar pasien gangguan jiwa diperlakukan secara manusiawi, tidak dipasung atau ditelantarkan. Pada Pasal 7 ayat 1 (b), misalnya menyebutkan menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi orang dengan gangguan jiwa sebagai bagian dari masyarakat.

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro