Bisnis.com, JAKARTA - Insomnia adalah kesulitan untuk memulai tidur, mempertahankan tidur dalam waktu yang diharapkan yang ditandai adanya episode bangun berulang di tengah tidur, serta masalah yang berkaitan dengan waktu bangun yang terlalu awal. Jangan sepelekan insomnia khususnya jika sudah berlangsung lebih dari sebulan.
Menurut Psikiater dan Kepala Klinik Psikosomatik Omni Hospitals Alam Sutera Andri, penderita insomnia berpotensi memiliki gangguan jiwa lainnya jika setelah sebulan mengonsumsi obat kondisinya tidak membaik dan dia juga tidak memiliki gangguan medis.
“Pasien tersebut harus berkonsultasi dengan psikiater,” katanya. Selama ini, lanjutnya, masyarakat masih merasa enggan mendatangi psikiater karena terdapat stigma bahwa mereka yang ke psikiater berarti orang gila.
Pada dasarnya, berbagai jenis gangguan jiwa lainnya banyak dikaitkan dengan masalah insomnia. Pasien dengan gangguan jiwa seperti gangguan cemas, depresi, demensia, skizofrenia dan gangguan penyesuaian sering mengeluh sulit tidur.
Dokter yang menangani kasus insomnia perlu mengetahui apakah insomnia yang terjadi merupakan insomnia yang tidak melibatkan masalah medis atau gangguan jiwa lainnya atau insomnia tersebut merupakan gejala dari suatu masalah gangguan jiwa yang lebih berat.
Insomnia yang tidak melibatkan masalah medis atau gangguan jiwa lainnya hanya menimbulkan gejala susah tidur atau terbangun lebih awal tanpa disertai gejala lainnya. Jika insomnia disertai gangguan jiwa lainnya maka ada gejala seperti cemas, depresi, hampa, serta merasa tidak ada motivasi. “Bagi yang mengalami insomnia murni tidak ada gejala seperti itu,” katanya.
Penelitian memperlihatkan sehubungan dengan penambahan umur maka pola tidur menjadi kurang baik. Banyak pasien lanjut usia membutuhkan waktu lebih dari 30 menit untuk dapat terlelap, beberapa di antaranya mengalami masalah seringnya bangun di malam hari dan akhirnya sulit tidur kembali.
Beberapa gangguan medis seperti nyeri kronis pada pasien reumatik, diabetes mellitus, gangguan prostat, stroke, Parkinson, sleep apnea dan restless leg syndrome adalah kondisi medis umum yang dapat memicu insomnia. Ada juga kesulitan tidur yang disebabkan karena penggunaan obat seperti obat flu yang mengandung bronkodilator, obat asma seperti teofilin dan aminofilin, obat antidepresan.
Andri mengatakan mereka yang mengalami insomnia harus belajar menjaga pola tidur yang baik. Tidurlah di jam yang sama dan bangunlah di jam yang sama. Para ahli merekomendasikan tidur selama 7-8 sehari, tetapi ada pula penelitian yang memperlihatkan tidur selama 6,5 jam akan cukup memberikan kepuasan.
Penderita insomnia harus bangun pagi secara teratur serta segera pergi tidur setelah mengantuk. Agar lebih mudah tidur, jangan minum kopi atau menjelang waktu tidur dan jangan berolahraga berat malam hari.
Hindari menggunakan gadget atau menonton televisi sebelum tidur karena membuat seseorang semakin sulit untuk segera tidur. Pilihlah pekerjaan lain yang sifatnya menjemukan seperti membaca buku yang membuat seseorang cepat mengantuk.
Jika insomnia masih terus berlanjut, penderita insomnia membutuhkan obat. Obat tidur yang disarankan oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat dan yang juga terdapat di Indonesia adalah zolpidem, estazolam dan ramelteon.
Sering kali dokter juga menggunakan obat anticemas golongan benzodiazepine—seperti alprazolam, lorazepam —yang sebenarnya tidak direkomendasikan sebagai obat anti insomnia tetapi sering dipakai karena efek sedasinya yaitu mengurangi cemas dan membuat rileks.
Hanya saja penggunaan anti cemas benzodiazepine jangka panjang mempunyai potensi untuk menimbulkan ketergantungan dan dosis yang terus bertambah. “Untuk itu dokter diharapkan bijak menggunakan obat tersebut dan jika memerlukan rujukan ke psikiater harus segera dilakukan,” katanya.
Data di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa sekitar 30%-50% orang dewasa di sana mengalami insomnia selama satu tahun kehidupannya, 10% di antaranya menjadi kronis atau parah. Lebih jauh dikatakan bahwa 49% dari dewasa yang disurvei mengatakan tidak puas terhadap tidur yang dialaminya lebih dari 5 malam per bulan.