Konferensi pers film Surat dari Praha di Jakarta, Senin (25/1/2016) (ANTARA News/ Nanien Yuniar)
Entertainment

Surat dari Praha: Mematangkan Riset dan Skenario

Tisyrin Naufalty Tsani
Minggu, 7 Februari 2016 - 17:37
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Seorang perempuan muda berdiri di samping jendela rumah sakit, sementara ibunya terbaring di tempat tidur. Keduanya bercakap-cakap mengenai sertifikat rumah sang ibu. Si perempuan muda ingin meminjam sertifikat rumah ibunya, ibunya terlihat kaget. Tak lama kemudian sang ibu harus masuk ruang operasi. Namun, nyawanya tak terselamatkan.

Perempuan muda itu adalah Larasati yang merupakan anak satu-satunya dari Sulastri, kemudian mendapatkan rumah sebagai warisan. Warisan itu tidak serta merta langsung dapat dinikmati Larasati, karena Sulastri membuat suatu syarat lewat surat wasiat. Larasati harus memberikan sebuah kotak dan sebuah surat ke Praha, untuk seseorang bernama Jaya. Kisah pun berlanjut di Praha.

Demikian sepenggal cerita pembuka film Surat dari Praha yang mulai tayang di bioskop 28 Januari 2016. Film ini adalah hasil produksi Visinema Pictures. Surat dari Praha mencoba membungkus penggalan sejarah Indonesia dalam suatu kisah cinta.

Ceritanya akan menggiring penonton ke peristiwa perubahan politik pada 1965.  Film terinspirasi dari kehidupan para pemuda Indonesia di Praha yang tidak dapat pulang ke Indonesia karena peristiwa 1965.

Ide untuk membuat Surat dari Praha datang dari sang sutradara film tersebut yaitu Angga Dwimas Sasongko. Menurut Produser Surat dari Praha Anggia Kharisma yang juga merupakan istri Angga, keinginan Angga membuat film yang mengemas sejarah Indonesia secara ringan sudah muncul sejak bertahun-tahun lalu. Mereka berdua kerap berdiskusi tentang rencana itu.

Anggia sangat mendukung suaminya. Mereka kemudian bergerak dan tidak sembarangan dalam menggarap Surat dari Praha. Tim mencari tahu apa yang terjadi di Praha sebenarnya dengan mendatangi kota tersebut secara langsung dan mencari narasumber primer.  “Visinema Pictures untuk masalah riset enggak mau main-main,” katanya.

Setelah mendapatkan informasi yang cukup, tim kemudian mengembangkan ceritanya. Mereka berupaya mematangkan penggarapan film tersebut dari sisi riset dan skenario. Dengan begitu, proses pengambilan gambar pun hanya memakan waktu 11 hari, yaitu selama 3 hari di Jakarta dan delapan hari di Praha. Syuting di Praha berlangsung pada Agustus 2015.

Selama syuting, tim menghadapi tantangan berupa udara di Praha yang sangat panas yaitu mencapai 40 derajat celcius saat itu. “Selama 2 minggu kami berada di Praha untuk persiapan-persiapan lalu syuting, sebelumnya juga Angga dan Ipang [panggilan untuk penulis skenario] juga bolak-balik untuk riset,” papar Anggia.

Meski udara panas, tim berusaha menciptakan suasana tetap menyenangkan, untungnya mereka juga bekerjasama dengan production house di Praha yang mempermudah pekerjaan mereka di sana termasuk menyediakan air minum yang sangat dibutuhkan apalagi saat udara menyengat.

Anggia sendiri saat berada di Praha tengah hamil dengan usia kandungan enam bulan, tetapi tak menyurutkan niatnya untuk tetap bekerja bahkan lari-larian di tengah syuting. “Untung bayinya easy going,” katanya sembari tersenyum.

Dia menceritakan saat syuting di sebuah apartemen, dia harus bolak-balik dari lokasi wardrobe ke lokasi pengambilan gambar. Jika mengikuti kondisi sesungguhnya, jarak kedua tempat tersebut cukup jauh, sehingga Anggia memilih melompati suatu jendela agar lebih cepat.

It’s our passion, mau sedang hamil atau enggak, i don’t care,” katanya.

Sayangnya, dia menolak memberi bocoran berapa biaya pembuatan film. Yang jelas, menurutnya, proses produksi yang mengharuskan pengambilan gambar di luar negeri tentunya akan memakan biaya yang lumayan.

Riset untuk film Surat dari Praha setidaknya telah dilakukan sejak 3 tahun lalu, saat para tim masih terlibat dalam pembuatan film Cahaya dari Timur.

Menurut Penulis Skenario Surat dari Praha M. Irfan Ramli, pada mulanya dia mendapatkan informasi awal dari berbagai bacaan dan dokumen tentang pelajar-pelajar Indonesia yang berada di luar negeri saat peristiwa 1965.

Kemudian tim mencoba melacak orang-orang Indonesia yang berada di Praha yang tidak dapat kembali ke tanah air karena adanya perubahan politik pada 1965. “Kami beruapaya cari kontaknya,” katanya.

Meski berlatar kisah sejarah yang nyata, Irfan menegaskan tokoh-tokoh dalam filmnya adalah tokoh fiktif. Dia menjelaskan tokoh dalam film Surat dari Praha yaitu Jaya adalah karakter yang terbentuk berdasarkan riset komprehensif. Masing-masing tokoh tidak ‘tercipta’ berdasarkan karakter tunggal seseorang saja.

“Itu karakter yang kami crafting dari hasil interview, hasil riset, hasilnya seperti tokoh Jaya,” katanya.

Tokoh Larasati tercipta untuk merepresentasikan masyarakat saat ini yang tidak mudah untuk mendapatkan informasi solid mengenai keberadaan orang-orang yang ada di Praha dibalik peristiwa 1965.

Cerita sejarah tersebut kemudian dikemas dengan bumbu cinta dan musik. Taktik ini mirip dengan film Cahaya dari Timur yang mengangkat konflik Maluku lewat cerita tentang sepakbola.

Dia berharap Surat dari Praha yang tayang di bioskop mulai 28 Januari 2016 tersebut tidak terkesan menggurui.

Sutradara Angga Dwimas Sasongko menceritakan bagaimana tim dapat bertemu dengan narasumber primer yang dapat membantu menyusun cerita. “Di sana ada partner kami untuk produksi, mereka membantu mencari kontak mereka,” katanya.

Salah seorang partner di Praha rupanya memiliki tetangga seorang ibu-ibu yang senang olahraga taichi, komunitas Indonesia di Praha pun kerap melakukan kegiatan olahraga tersebut.

Dari situlah tim lebih mudah mendapatkan informasi. Untungnya, mereka bertemu dengan orang-orang yang masih mampu bercerita secara detail.

Perjuangan tim tak hanya seputar riset di Praha saja, tetapi juga bagaimana meluluhkan hati para artis senior agar bersedia ikut serta dalam film Surat dari Praha. “Saya pernah bilang, film ini sutradaranya bisa siapa saja, tetapi yang main harus Tio Pakusadewo, Widyawati, dan Julie Estelle,” katanya.

Angga dan Anggia sempat mendatangi langsung kediaman Tio Pakusadewo di Singapura untuk mengajaknya main film. Angga mengharapkan, filmnya ini dapat menggugah generasi muda untuk lebih banyak menggali kembali sejarah bangsa Indonesia.

Semoga sukses!

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro