Bisnis.com, JAKARTA - Larasati berdiri di samping jendela rumah sakit. Di pembarian tampak Sulastri, ibunya, terbaring ringkih di serang penyakit berat. Ibu dan anak ini tengah bercakap-cakap mengenai sertifikat rumah. Sang anak menyampaikan tujuannya untuk meminjam sertifikat tersebut.
Sulastri nampak kaget mendengar permintaan itu. Tak lama kemudian, Sulastri dijemput beberapa perawat untuk menjalani operasi. Sayangnya, Sulastri mesti meregang nyawa di atas meja operasi.
Sebagai anak tunggal, Larasati mendapatkan warisan berupa rumah. Namun, rumah itu baru dapat dimiliknya secara sah, setelah Larasati memberikan kotak dan sepucuk surat kepada seorang pria bernama Jaya, yang tinggal di Praha, Republik Ceko.
Cerita terus bergulir dengan setting Praha. Sepenggal kisah yang menjadi pembuka film berjudul Surat dari Praha terlihat sangat sendu. Film drama yang diproduksi Visinema Pictures telah sebulan ditayangkan di bioskop, sejak penayangannya pada pertengahan Januari lalu.
Film yang terinspirasi dari kehidupan para pemuda Indonesia di Praha yang tidak dapat pulang ke Indonesia karena peristiwa 1965, disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko.
Menurut Produser Surat dari Praha Anggia Kharisma -yang juga istri Angga Dwimas Sasongko-, keinginan untuk membuat film yang mengemas sejarah Indonesia secara ringan sudah muncul sejak beberapa tahun lalu.
Mereka berdua kerap berdiskusi tentang rencana itu. Mereka tidak sembarangan dalam menggarap Surat dari Praha. Tim praproduksi yang dibentuk mencari tahu informasi terkait peristiwa 1965 kepada narasumber yang masih hidup di Praha.
“Visinema Pictures untuk masalah riset enggak mau main-main,” katanya.
Penulis Skenario M. Irfan Ramli menuturkan proses riset dimulai dari studi literatur tentang pejalar Indonesia yang tinggal di luar negeri saat meletusnya peristiwa 1965. Kemudian tim praproduksi melacak orang Indonesia yang terpaksa menetap di Praha karena tidak dapat kembali ke Indonesia, karena adanya perubahan politik 1965.
“Kami beruapaya cari kontaknya,” katanya.
KISAH EKSIL
Meski berlatar kisah sejarah yang nyata, Irfan menegaskan sejumlah tokoh dalam filmnya adalah fiktif. “Itu karakter yang kami crafting dari hasil interview, hasil riset, hasilnya seperti tokoh Jaya,” katanya.
Tokoh Larasati merepresentasikan kondisi masyarakat saat ini yang tidak mudah untuk mendapatkan informasi solid mengenai keberadaan orang-orang yang ada di Praha di balik peristiwa 1965.
Dari informasi yang didapatkan dari sumber primer, tim kemudian menjabarkannya ke dalam skenario. Kekuatan yang didapatkan dari sisi riset dan skenario membuat proses produksi film ini cukup singkat. Terhitung pengambilan produksi hanya berlangsung selama 11 hari, yaitu tiga hari di Jakarta, dan 8 hari di Praha.
Sutradara Angga Dwimas Sasongko mengungkapkan tidak mudah menemukan narasumber primer yang dapat membantu menyusun skenario. “Di sana ada partner kami untuk produksi, mereka membantu mencari kontak mereka,” katanya.
Perjuangan tim produksi ternyata tidak hanya berkutat pada masalah riset di Praha saja, tetapi juga perjuangan meluluhkan hati para artis senior untuk bersedia mendukung film Surat dari Praha. “Saya pernah bilang, film ini sutradaranya bisa siapa saja, tetapi yang main harus Tio Pakusadewo, Widyawati, dan Julie Estelle,” katanya.
Angga dan Anggia sempat mendatangi langsung kediaman Tio Pakusadewo di Singapura untuk mengajaknya bermain film. Angga mengharapkan filmnya ini dapat menggugah generasi muda untuk lebih banyak menggali kembali sejarah bangsa Indonesia.
Semoga sukses! ()