Bisnis.com, JAKARTA—Para pelaku industri kreatif perfilman menyambut baik rencana pemerintah yang ingin merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan membuka kepemilikan asing hingga 100% pada bidang usaha perfilman sektor eksebisi, distribusi, produksi dan teknik.
Keputusan tersebut dinilai dapat membuka akses permodalan dan penambahan layar, juga meningkatkan standar dan kapasitas kompetensi pekerja film di tanah air. Peningkatan tersebut dimungkinkan melalui terbukanya akses transfer teknologi di industri perfilman antar pekerja film lokal dan internasional melalui kerja sama yang terjalin.
Hal tersebut tercantum dalam deklarasi yang dibuat di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) pada Selasa (09/02) oleh sejumlah asosiasi perfilman, seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), Gabungan Studio Film Indonesia (GAFSI), Indonesian Film Directors Club (IFDC), Rumah Aktor Indonesia (RAI), Indonesia Motion Picture and Audio Association (IMPAct), Penulis Indonesia Untuk Layar Lebar 9PILAR), Sinematografer Indonesia (SI), Indonesian Film Editors (INAFed), Indonesian Production Designer 9IPD), dan Asosiasi Casting Indonesia (ACI).
Ketua PPFI Manoj Punjabi mengatakan adanya revisi DNI akan menjembatani terbukanya hubungan yang seluas-luasnya antar pekerja film lokal dengan dunia luar. Hal tersebut diyakini dapayt berkontribusi dalam penambahan layar bioskop di masa depan.
“Satusatunya cara mendapat 20 juta penonton dari satu judul film nasional, adalah menambah jumlah layar bioskop di Indonesia, karena 1117 layar sangat tidak bisa memfasilitasi penonton potensial di tanah air. Minimal harus sekitar 30005000 layar. Untuk merealisasi semua ini kita harus lebih agresif dan proaktif menjual karya anak negeri agar dilihat dunia. Sudah saatnya kita menunjukkan eksistensi kita ke dunia internasional.,” ujarnya seperti dilansir dari keterangan resmi yang diterima Bisnis.com, Selasa (09/02).
Senada dengan hal tersebut, Ketua RAI Lukman Sardi juga mendukung kebijakan itu, selama ada perangkat hukum yang melindungi pelaku usaha lokal.
“Adanya investor asing untuk industri film indonesia buat para aktor bukanlah sesuatu yang harus di khawatirkan, karena dengan begitu para aktor akan punya adrenalin tinggi untuk meningkatkan diri dan justru membuka peluang untuk para aktor bersaing di dunia international,” ujarnya.
Pimpinan Rumah Produksi Dapur Film Hanung Bramantyo menilai tidak ada alasan para pelaku di industri film untuk menolak dibukanya DNI. Baginya, yang menolak DNI justru pihak yang tidak punya rasa percaya diri yang cukup sehingga khawatir bisnisnya terancam.
"Justru kebijakan ini di usaha bioskop akan menempatkan para kreator film di Indonesia, berada selevel dengan para kreator film dari mancanegara," ujarnya.
Dalam deklarasi tersebut, insan perfilman tanah air juga mendesak pemerintah dalam hal ini Mendikbud untuk segera menetapkan tata edar film sesuai amanat Pasal (29) UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman dan membuat integrated box of ice system yang berlaku untuk film asing dan film nasional. Sistem tersebut harus dapat diakses datanya secara harian berisikan data penonton, jumlah layar yang didapat dan jumlah jam tayang yang diterima setiap film.
Guna melindungi perfilman tanah air, mereka juga meminta eksibitor untuk lebih memberikan kesempatan kepada flm Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 32 UU No 33 Tahun 2009 tentang Film yang menyatakan pelaku usaha pertunjukan film wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurangkurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 bulan berturutturut.