Bisnis.com, JAKARTA - Pertama kali dalam sejarah dunia mendapati ada tiga generasi karyawan dalam satu perusahaan, yakni generasi Baby Boomers, generasi X, dan generasi Milenial.
Generasi Baby Boomers adalah generasi yang lahir dalam rentang 1946 – 1964 pasca perang dunia kedua. Dalam kondisi dunia yang hancur lebur, generasi Baby Boomers adalah generasi yang membangun dunia ini dari nol. Generasi X di lain pihak adalah putra-putri dari generasi Baby Boomers yang lahir dalam rentang 1965-1981.
Generasi ini saat mereka pulang rumah selepas sekolah mendapati rumahnya kosong, karena orang tua mereka sibuk bekerja keras. Hal itu yang membuat generasi X memiliki konsep yang berbeda dibandingkan dengan generasi Baby Boomers, di mana mereka mengutamakan pentingnya kebersamaan sebuah keluarga dan anak adalah segala-galanya.
Generasi ini adalah generasi yang lebih plural dalam melihat nilai sosial dan bisa melihat perbedaan ras, agama, jenis kelamin, budaya, termasuk orientasi seksual. Generasi terakhir yang paling menghebohkan saat ini adalah generasi Milenial yang lahir dalam rentang 1982-1995, di mana mereka lahir di zaman berlimpahnya teknologi modern.
Para orang tua generasi Milenial, yaitu generasi X, sangat memanjakan generasi ini, sehingga mereka menyediakan semua yang dibutuhkan anak-anak Milenial mereka, termasuk perangkat komputer, gawai dan akses Internet. Hal ini membuat generasi Milenial tumbuh dengan koneksi dalam jaringan (daring) melintasi batas ruang dan waktu.
Tidak heran generasi Milenial memiliki rasa peduli yang tinggi terhadap komunitas, baik lokal maupun global di sekeliling mereka, karena mereka merasa menjadi warga dunia tanpa batas. Dunia global seakan sudah menjadi satu negara daring bagi generasi Milenial. Secara demografi, generasi Milenial adalah generasi terbesar yang memasuki dunia kerja saat ini.
Mereka mulai memasuki lapangan pekerjaan sejak paruh kedua 2004 dan akan terus membanjiri lapangan pekerjaan hingga 2022. Hal ini membuat para pengusaha was-was akan ekspektasi dan budaya yang berbeda dari para generasi Milenial ini. Akibatnya, generasi Milenial berganti pekerjaan lebih sering daripada generasi-generasi sebelumnya.
SEMBILAN KALI PINDAH
Riset Moody pada 2000 menunjukkan bahwa generasi Milenial ini berganti pekerjaan hingga sembilan kali sebelum mereka mencapai umur 30. Hal ini terjadi karena mereka memiliki ekspektasi yang jauh lebih tinggi dan berbeda daripada generasi X atau generasi Baby Boomers.
Siapa yang harus mengalah? Apakah generasi Milenial yang harus mengikuti budaya kerja para manajer mereka yang berasal dari generasi X? Ataukah para manajer generasi X dan pemimpin perusahaan generasi Baby Boomers yang perlu menyetel ulang gaya manajemen mereka agar bisa membuat para generasi Milenial tidak lagi menjadi kutu loncat yang berpindah sembilan kali sebelum umur 30?
Argumentasi bisa datang dari berbagai perspektif.
Namum dalam demografi perusahaan, tidak bisa dikesampingkan kalau karyawan dari generasi Milenial adalah yang terbanyak dan yang ada di garda depan dalam mengeksekusi strategi perusahaan.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi para manajer dan pemimpin perusahaan untuk mulai beradaptasi mengenal lebih baik generasi Milenial agar proses bisnis lebih produktif. Bagaimana memulainya?
Dalam konteks manajerial di dalam perusahaan, manajer perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang memberikan kepuasan bagi generasi Milenial dalam bekerja, sehingga memberikan retensi yang lebih lama bagi mereka untuk berkontribusi ke perusahaan.
Ryus mengadakan riset pada 2013 dan mengidentifikasi tujuh faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan para generasi Milenial saat mereka bekerja.
Pertama, mereka mencari perusahaan yang memiliki etika dan moral yang tinggi dalam pengambilan keputusan. Idealisme generasi Milenial untuk membangun dunia lebih baik, menuntut manajemen untuk memastikan korporasi mengimplementasikan tata kelola perusahaan yang baik ( good corporate governance).
Hal itu bisa membuat generasi Milenial merasakan bahwa mereka berada di tempat yang tepat dan satu visi dengan idealisme mereka.
Kedua, mereka mencari perusahaan yang bisa menghormati kontribusi para generasi Milenial dan memberikan pengakuan akan cara berpikir mereka yang berbeda. Adalah penting bagi para manajer untuk bisa lebih banyak mendengar ide-ide baru dari para generasi Milenial, dan tidak langsung menutup pintu rapat-rapat untuk cara-cara baru mereka dalam menyelesaikan pekerjaan.
Ketiga, arti hidup. Karyawan dari generasi Milenial mencari pekerjaan yang memiliki arti bagi hidup mereka. Pekerjaan yang bisa berkontribusi ke anak, keluarga, komunitas mereka, hingga dunia sebagai faktor ketiga bagi mereka untuk bisa tinggal lebih lama.
Keempat adalah gaji. Jika generasi Milenial memandang gaji mereka tidak adil, maka mereka akan meninggalkan begitu saja pekerjaannya. Departemen Sumber Daya Manusia perlu memiliki skema renumerasi yang adil yang memastikan setiap karyawan mendapatkan penghasilan sesuai dengan kontribusinya.
Kelima, generasi Milenial membenci manajer yang menerapkan sistem manajemen mikro. Para manajer perusahaan perlu berlatih memberikan lebih banyak ruang dan kesempatan bagi generasi Milenial untuk membuktikan keahlian mereka. Pendelegasian tugas dan wewenang serta pemberdayaan menjadi mantra penting bagi generasi Milenial untuk bisa bertahan.
Karyawan generasi Milenial juga mencari perusahaan yang memberikan peluang bagi mereka untuk bisa berkembang. Idealisme mereka untuk menelurkan ide-ide baru untuk membangun dunia global yang lebih baik memberikan aspirasi yang sangat tinggi bagi mereka. Apalagi ada banyak dari generasi mereka yang menjadi pemilik dan CEO perusahaan terkenal, seperti Facebook.
Keenam, perusahaan perlu memiliki jenjang yang jelas agar generasi Milenial berprestasi bisa melihat bahwa mereka memiliki milestone terukur untuk mencapai apa yang mereka inginkan dalam tangga karir dan jabatan di perusahaan. Ketujuh, faktor keseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadi.
Jam kerja yang fleksibel menjadi daya tarik bagi para generasi Milenial. Tidak heran perusahaan-perusahaan besar sekarang menerapkan konsep ruang kantor yang lebih mirip kafe untuk hang out agar karyawan bekerja serasa seperti halnya berada di kafe daripada model kubikal seperti ruang kerja generasi X. Mana yang lebih penting dan perlu diprioritaskan?
Semuanya kembali ke masing-masing kondisi perusahaan. Yang pasti, banjir karyawan generasi Milenial tidak bisa dihindari. Namun, banjir generasi Milenial kutu loncat masih bisa disiasati.
*) HERMAWAN SUTANTO, Mahasiswa Program Doktor Universitas Pelita Harapan, Jakarta