Banyak hal yang sudah dilalui sejak kelahirannya pada era 1930-an. /Bisnis.com
Referensi

Ceruk Pasar Komik Digital

Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang be-gitu pesat di era digital membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap industri komik di Indonesia.

Dengan kemudahan akses internet dan terus meningkatnya jumlah pengguna media sosial, komik-komik Indonesia pun hadir dalam bentuk digital dan mengisi setiap ruang di dunia maya.

Bila menilik perkembangan industri komik di Tanah Air, banyak hal yang sudah dilalui sejak kelahirannya pada era 1930-an, termasuk pasang surut dan persaingan antara komik lokal dan serbuan komik asing, terutama komik terjemahan dari Jepang dan Amerika Serikat.

Namun, pada era 2000an khususnya pada 2010 bisa dikatakan era kebangkitan komik nasional seiring dengan munculnya beragam gaya visual—mulai dari sketsa biasa, ekspresif, manga, kartun, hingga realisme— dan beraneka genre—seperti humor, detektif, horor, hingga adaptasi dari film layar lebar dan karya sastra.

Kini, komik Indonesia juga sudah bertransformasi mengikuti perkembangan teknologi, terlihat dari semakin maraknya komik digital yang berseliweran di masyarakat. Banyak komikus lokal, baik yang masih berstatus pelajar hingga yang sudah profesional—juga bertransformasi dan berlomba-lomba mengadu kreativitasnya dalam mengembangkan komik bermedia daring (dalam jaringan).

Banyak cara yang mereka gunakan, mulai dari merilis komik digital berseri hingga membuat komik strip bermuatan cerita pendek. Platform yang digunakan pun beraneka ragam, mulai dari blog, portal web, aplikasi ponsel (mobile app), layanan online chat, hingga media sosial.

Seperti yang diungkapkan komikus Beng Rahadian, kendati belum booming dari sisi ekonomi, komik digital sudah berkembang begitu pesatnya. Hampir semua komikus, terutama generasi muda yang sudah bermigrasi ke digital, termasuk Beng.

Namun demikian, banyak pula komikus senior yang masih memilih menghasilkan karya konvensional. Secara keilmuan memang tidak banyak perbedaan antara komik digital dan komik konvensional.

Hanya saja, ada beberapa paradigma yang berubah, terutama dari cara baca, yakni komik digital lebih interaktif karena bisa mendapatkan respons langsung dari pembaca. “Kita bisa mengukurnya dari jumlah like atau berapa sering di-share ke orang lain,” tutur Beng.

Selain itu, dari sisi format penulisan juga berubah. Ada yang menampilkannya dengan cara di-scroll ke bawah, ada pula yang per halaman dan berbentuk komik strip. Namun, dalam hal konten, karakter gambar dan lainnya tidak berbeda jauh antara digital dan konvensional.

Hanya saja, dengan pergeseran cara membaca masyarakat sekarang ini yang lebih banyak berkutat dengan media sosial dan internet, tema-tema komik digital yang diangkat ke lini media daring juga ikut bergeser.

Tak hanya membahas kehidupan anak muda (sesuai dengan usia kebanyakan para komikus digital), ada pula komikus yang lebih condong ke film dan hal-hal yang sedang ramai di medsos.

Iskandar Salim, misalnya. Melalui akun Komik Faktap, dia berhasil memopulerkan komik strip bernuansa black comedy di kalangan anak muda.

Apalagi, tema-tema yang diangkat di dalam komiknya kerap menyinggung isu kekinian dan kejadian umum yang sering ditemukan di Jakarta. Salah satu yang cukup ngetren adalah komik strip tentang Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

POTENSI BISNIS

Dari sisi bisnis, sebenarnya tidak banyak perbedaan antara komik digital dan komik konvensional. Namun, banyak biaya yang bisa dipangkas, seperti biaya distribusi dan ongkos kertas.

Hanya saja, menurut Iskandar, potensi keuntungannya juga masih sebatas pemasukan tambahan berupa endorsement, buzzer untuk start-up companies, produsen jasa dan produk.

Namun, tidak tertutup kemungkinan bila ide-ide komik digital ini diadaptasikan ke medium lain—misalnya film atau animasi, baik untuk kebutuhan hiburan maupun promosi—nilai jual atau value-nya akan meningkat.

Dari sisi pembaca, rerata para kaum muda lebih menyukai komik online ketimbang cetak. Apalagi, anak muda penggemar komik seperti Bima Ratio lebih banyak menghabiskan waktu dengan komputer, sehingga lebih mudah membaca komik melalui website seperti Webtoon atau fanpage Facebook.

Beda generasi, tentu berbeda pula kesukaannya. Eljeha, misalnya. Penggemar komik yang kini sudah berusia di atas 50 tahun itu masih setia dengan komik klasik, meskipun harganya bisa mencapai Rp500.000 satu setnya.

“Jadi saya lebih menyukai komik yang tidak sekadar ceritanya saja yang bagus, tetapi gambar atau ilustrasinya juga bagus, seperti karya Teguh Santoso dan Jan Mintaraga,” tuturnya. Apalagi, menurut dia, banyak komik generasi sekarang yang kurang memperhati-kan seni komik itu sendiri, yang hanya mengandalkan cerita bukan gambar.

“Kalau baca komik itu seperti baca koran. Saya suka koran versi cetak dengan aroma kertasnya, mungkin saya old fashioned person.”

Sama juga halnya dengan produser film Mira Lesmana. Perempuan kelahiran 1964 ini juga lebih memilih komik cetak ketimbang yang digital. Alasannya, dia tidak menemukan sensasi melipat kertas halaman, membalik halaman baru saat membaca.

“Bagi saya, keduanya adalah sebuah ritual saat membaca buku. Sementara, hal ini tidak dapat ditemukan di digital.” Pengamat komik dan budaya populer Hikmat Darmawan menilai saat ini, komik digital masih mencari bentuk dan model bisnis yang tepat. Komik digital sekadar men jadi personal branding bagi komikus.

Memang hampir semua komikus sudah mengarah ke sana, tetapi belum menjadi model bisnis yang menguntungkan semua pihak. Biar bagaimanapun sumber pendapatan komikus masih dari komik konvensional.

Oke lah karya mereka banyak di- like atau di-share, tetapi untuk menghasilkan uang ya harus jual komik cetak atau jadi pembicara di lokakarya tentang komik,” katanya.

Hal ini juga diamini oleh pengamat komik Arswendo Atmowiloto. Menurut dia, keuntungan komik digital belum dapat dikatakan dramatis, kecuali ada komik online yang benar-benar menjadi hit.

“Komik online bisa ‘meledak’ luar biasa, tetapi yang menjadi pertanyaan apakah komik online bisa benar-benar ‘meledak’ atau tidak,” tuturnya.

SITUS KOMIK DIGITAL

Bagaimanapun peralihan preferensi penggemar komik dan komikus ke arah media online mendorong kemunculan berbagai situs penyedia komik digital untuk mengakomodasi kebutuhan komikus maupun pembaca komik, salah satunya adalah re: ON Comics (reoncomics.com).

Situs tersebut juga menjadi satu-satunya situs penerbit komik kompilasi independen dengan komunitas terbesar di Tanah Air. Genre yang ditawarkan sangat bervariasi, dan pengaksesnya tersebar dari segala rentang usia dan domisili.

Co-founder re: ON Comics, Yudha Negara Nyoman menjelaskan ada beberapa komikus populer saat ini yang bermula dari komik online, antara lain Faza Meonk yang terkenal dengan komik Si Juki dan Sweta Kartika yang juga dikenal dengan komik drama romance-nya yang berjudul Grey & Jingga.

“Secara bisnis, yang selalu menjadi permasalahan utama komik digital saat ini adalah bagaimana cara memonetisasi komik ini,” tuturnya.

Ada beberapa komik online yang telah berhasil dimonetisasi melalui pemasangan iklan dalam penayangan komiknya. Namun, selain jumlahnya masih sedikit juga belum sustainable atau berkelanjutan, dikarenakan banyak pengiklan yang belum menganggap komik digital adalah platform iklan yang efektif.

Padahal, di luar negeri banyak produk yang menggunakan komik digital sebagai sarana iklan melalui metode product placement (penempatan brand atau produk dalam cerita komik itu sendiri).

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Minggu (1/5/2016)
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro