Bisnis.com, JAKARTA - Humor atau komedi saat ini masih fokus hanya untuk sebuah tontonan. Padahal, sejatinya, panggung humor dapat menjadi media menyampaikan pesan dan kritik.
Pianis, komponis, penulis, sekaligus pengusaha, Jaya Suprana, menilai sebagian masyarakat memandang keliru terhadap humor. Mereka seringkali mengamini bahwa humor harus selalu lucu dan jenaka. Padahal sebaliknya, tingkat humor yang paling tinggi tidak lagi lucu dan jenaka, tetapi justru mengharukan, menyedihkan, dan menyadarkan.
“Humor tidak adil dan tidak beradab hadir ketika humor digunakan untuk melecehkan dan mem-bully dari satu manusia ke manusia lain,” tuturnya saat membuka Simposium Humor Nasional: Humor yang Adil dan Beradab di Mall Of Indonesia Jakarta.
Anggota grup lawak Bagito, Deddy ‘Mi'ing’ Gumelar, mengatakan humor bukan saja kelompok orang-orang yang melawak. Humor adalah katarsis dari kepengapan sosial. Selain itu, humor digunakan sebagai sarana menyampaikan kritik dan pesan, sehingga mudah diterima tanpa menyakiti hati. Humor sebagai sarana kritik ini yang pernah dilakukan Bagito ketika booming di era Orde Baru.
“Sehingga penting dirumuskan humor yang adil dan beradab,” katanya menambahkan.
Pengajar ilmu pengetahuan filsafat, Rocky Gerung, menilai kecerdasan politik terbaca dalam kemampuan seseorang menghumorkan suasana tanpa kehilangan fokus kritik. Namun, kondisi forum politik sekarang ini justru sedang mengalami yang dia sebut dengan istilah defisit humor dan kurangnya kemampuan metafor.
Rocky menjelaskan, metafor adalah alat humor yang cerdas, yang kini tak lagi didengar dari mulut pemimpin hari ini. Maka tidak heran, jika forum politik kerap diwarnai dengan aksi kemarahan dan maki-makian ketika menyampaikan argumen.
Sebaliknya, kecerdasan politik justru dapat dijumpai para pemimpin terdahulu dan para founding fathers. Rocky mengisahkan ketika Haji Agus Salim diolok-olok oleh lawan politiknya dengan meneriakkan suara kambing ‘mbek-mbek’, karena janggutnya yang mirip janggut kambing. Agus Salim tak berang. Dengan tenang Agus Salim hanya berucap,
“Panitia, mengapa ada suara kambing di ruangan ini? Tolong keluarkan binatang itu."
“Mengapa humor yang cerdas semacam itu tak mampu dihasilkan oleh pemimpin hari ini. Kekurangan pikiran mengeringkan humor, gantinya adalah maki-makian,” imbuh penulis dan pengajar lepas ini.