Bisnis.com, JAKARTA - Pada perhelatan pasar seni Art Stage Jakarta 2017, di Jakarta, 11 – 13 Agustus lalu, stan CG Artspace tampil cukup mencolok dibandingkan stan-stan lainnya. Pasalnya hampir seisi ruangan dipenuhi lukisan-lukisan berlanggam abstrak dengan kesan dramatik karya seniman Kemal Ezedine. Dia ingin berbicara banyak tentang Bali melalui karyanya tersebut.
Dalam sejarah seni rupa Indonesia, Bali memang tak dapat dikesampingkan begitu saja. Tak sedikit para seniman di sana mengusung gaya ke-Baliannya dalam berkarya. Salah satunya gerakan Pita Maha yang dipelopori oleh Tjokorde Agung Sukawati, Rudolf Bonet, Walter Spies, I Gusti Nyoman Lempad dan lainnya pada 1936.
Seni lukis Pita Maha awalnya tumbuh di Desa Ubud dan berkembang ke wilayah lainnya di Bali. Mengakar pada seni lukis tradisional, Pita Maha mengawinkannya dengan sentuhan seni lukis barat. Namun, pada perkembangannya seni lukis Bali seolah terpinggirkan dalam peta seni rupa Indonesia. Makanya, Kemal mencoba menelusuri kembali jejak-jejak seni lukis Bali lewat karya-karyanya.
Pada 2014, Kemal pun ikut menggagas kelompok Neo Pita Maha, sebuah kelompok seni rupa di Bali yang mengajukan akar seni lukis Bali. Lahirnya kelompok dilatarbelakangi untuk mengembalikan semangat Bali dalam dunia seni rupa kontemporer yang lebih plural.
Menurut Kemal lukisan-lukisan Bali pada era 1930-an cenderung tradisional, kemudian pada 1970-an lebih mooi indie. Kaitannya dengan proses berkeseniannya, Kemal berusaha menelusuri kembali jejak-jejak cara berkarya para seniman Bali terdahulunya.
“Nah saya sedang mengikuti fase tersebut. Jadi lebih kayak studi histori,” tuturnya.
Untuk karyanya di CG Artspace ini, Kemal menampilkan beberapa lukisan seperti Slide Picture (mixed media on canvas, 350x500, 2017), Van Gogh and Medici (mixed media on canvas, 245 x 345 cm, 2017), dan Perspective (mixed media on canvas, 245 x 345 cm, 2017).
Menariknya karya-karya tersebut dibuat langsung di lokasi pameran. Kemal menyebut karyanya lebih ke neo ekspresionisme yang masih bagian dari sejarah Pita Maha.
Meski berlatar belakang sebagai seniman mural, Kemal ingin mengejar rasa ketika membuat karya layaknya para seniman-seniman Bali terdahulu. “Seperti apa sih mereka waktu itu [melukis]. Cara melukis orang Bali itu drawing. Sebelum ke sejarah seni rupa dunia, kita harus tahu dulu sejarah lokal sendiri,” tuturnya.
Selain itu dia pun tak menampik bila karya-karyanya tampil dengan warna cenderung gelap. Bagi dia begitulah salah satu ciri khas lukisan Bali yang biasa bermain dengan warna-warna gelap.
Dia menjelaskan untuk medium yang digunakan yaitu tinta dipadukan dengan cat minyak. Medium-medium tersebut dipilih Kemal karena bagian dari perjalanannya menelusuri sejarah seni lukis Bali.
“Terus saya orangnya memang gelap sih. Sebab makin banyak buku semakin gelap,” tuturnya.
Pada satu karyanya, Kemal menghadirkan lukisan figur wajah manusia dalam lukisannya, tetapi figur itu dibuat abstrak. Kemal mengatakan, wajah manusia tersebut merupakan wajahnya sendiri. Karya ini, imbuhnya, untuk merespon pendapat yang melarang untuk melukis figur karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama tertentu.
Sebagai seorang muslim, Kemal menyadari ada pendapat yang menyatakan demikian. “Sebab dalam banyak hal tentang seni orang banyak tidak tahu. Patung dihancurkan, melukis figur dianggap mendekati Tuhan. Makanya figur muka saya tutup,” tuturnya.
Sebelum ini, dalam beberapa kesempatan pameran menyajikan karya dengan gaya dan medium berbeda. Kemal mengatakan dalam melukis bukan sekadar menunjukkan gaya apa. Tetapi konsep yang bakal diwujudkan. Sedangkan lukisan tak ubahnya adalah alat untuk menyampaikan konsep tersebut.