Bisnis.com, JAKARTA – Setelah kabar pemecatannya beredar luas, Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Terawan Agus Putranto masih sulit dihubungi.
Bisnis yang mencoba untuk menemui langsung dokter Terawan di RSPAD Gatot Soebroto pada Selasa (3/4/2018) sore belum bisa menemui mantan tim kedokteran kepresidenan itu.
Menurut salah satu petugas yang tidak mau disebut namanya, dokter Terawan sedang menemui tamu dan belum bisa melalukan wawancara.
“Iya, beliau sedang menemui tamu, belum bisa ditemui [melakukan wawancara] dan humasnya juga sudah pulang, besok ke sini lagi saja, atau tunggu konferensi persnya nanti,” ungkap petugas tersebut.
MKEK PB IDI memberikan sanksi pemecatan sementara selama 12 bulan dari keanggotaan IDI sejak 26 Februari 2018—25 Februari 2019 kepada Dr. dr Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K).
Alasannya, Terawan dianggap melakukan pelanggaran etika kedokteran mengenai metode penyembuhan stroke dengan terapi ‘cuci otak’ yang dipraktikkannya.
Sementara itu Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Daeng M Faqih juga irit bicara. Meski mengakui adanya pemberian sanksi pelanggaran kode etik kepada Terawan Agus Putranto, tapi ia tak mau mengungkap pelanggaran seperti apa yang dilakukan dokter lulusan UGM itu.
“Saya tidak berhak menjawab mengenai [masalah pelanggaran keras kode etik yang diputuskan MKEK], untuk hal tersebut silahkan hubungi MKEK-nya langsung,” ungkap Daeng saat dihubungi oleh Bisnis.
ARSIP 2013
Beberapa tahun lalu, tepatnya 2013, Bisnis sempat mewawancarai Terawan Agus Putranto mengenai teknik yang dia lakukan.
Di sela-sela waktunya melayani pasien di CVC (Cerebro Vascular Center) RSPAD Gatot Soebroto, Terawan mengatakan teknik yang dia lakukan disebut radiologi intervensi menggunakan DSA.
“Dengan teknik ini, kami bisa memeriksa apakah ada kelainan pada pembuluh darah di otak pasien seperti hambatan aliran, penyempitan, pelebaran yang abnormal, sampai aliran yang terlalu cepat. Semuanya harus mampu kami sinkronkan atau seimbangkan sehingga pasien merasa keluhannya berkurang,” jelasnya, berdasarkan arsip Bisnis Indonesia.
Dalam tampilan melalui video ketika operasi, tampak kateter berbentuk sebuah tube yang sangat tipis dimasukkan ke dalam pembuluh darah di leher dan otak pasien, biasanya melalui area pangkal paha. Dalam tube tersebut, terdapat cairan flushing (flushing liquid) yang berfungsi untuk membuka sumbatan dan memperlancar aliran darah.
Setelah sumbatan dibuka, menariknya, tidak ada residu yang dihasilkan. “Kita berpikir bahwa akan ada residunya, namun tidak, kan?” ujar Terawan.
Tindakan operasi yang dilakukan oleh Terawan sangat terbuka, keluarga pasien atau siapapun yang bersedia, dapat menyaksikan proses bagaimana kateter tadi bekerja di dalam pembuluh darah lewat monitor yang tersedia di luar ruang tindakan DSA.
Menurut Terawan, teknik ini umum diterapkan di seluruh dunia, hanya saja dia sedikit memodifikasinya dengan mengurangi paparan radiasi dari sinar radioaktif ke pasien, menurunkan jumlah kontras (pewarna) yang masuk dalam tubuh pasien, dan mengoptimalkan cairan yang masuk.
Dia menegaskan bahwa metode yang dia lakukan tercantum dalam jurnal-jurnal internasional untuk radiologi intervensi, bahkan komunitas para radiologist intervensi di AS jumlahnya mencapai ribuan orang.
SEJAK 2005
Dia bersama tim medis dari RSPAD Gatot Soebroto sebenarnya sudah menerapkan teknik ini sejak 2005, tapi memang baru membuka diri dalam beberapa tahun terakhir.
“Mengubah suatu paradigma, melakukan hal baru di Indonesia itu tidak mudah. Kami silent dulu supaya tidak mati sebelum berkembang. Begitu kami punya empiric evidence base berupa jumlah pasien yang besar, baru kami tampil ke publik. Sekarang, pasien yang telah kami tangani lebih dari 10.000 orang dan di sini semua terbuka,” ungkap Terawan pada 2013.
Dia memutuskan untuk tidak terlalu menanggapi polemik yang muncul di antara para koleganya di Persatuan Dokter Syaraf Indonesia (Perdossi) mengenai metode yang dia lakukan untuk menangani berbagai macam stroke.
Menurutnya, ini bukan ilmunya mereka (ilmu syaraf) melainkan ilmu radiologi intervensi. Dia juga tidak mengklaim sebagai yang pertama menerapkan hal ini di Indonesia, kebetulan saja dia yang disorot.
Pada 2013, tiap harinya Terawan bisa melakukan tindakan terhadap sekitar 8 pasien bahkan lebih. Dia menyadari bahwa kemampuan fisiknya terbatas, maka dia sudah ancang-ancang untuk regenerasi dari sekarang.
Setiap melakukan tindakan, dia ditemani oleh para asistennya dari Malang, Makassar dan sebagainya yang akan membawa teknik tersebut saat mereka kembali ke daerahnya.
Selain itu, dia juga menjadi dosen luar biasa untuk Fakultas Kedokteran di berbagai universitas termasuk UGM (Universitas Gajah Mada) dan UI (Universitas Indonesia).
DITENTANG PERDOSSI
Berdasarkan arsip berita Bisnis 2013, Prof. Dr. dr. Hasan Machfoed, SpS (K), MS yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Persatuan Dokter Syaraf Seluruh Indonesia (Perdossi) menyatakan ada pertentangan terhadap apa yang dilakukan dokter ahli radiologi tersebut.
“Brain washing itu nggak ada dalam istilah medis, itu cuma buat ajang promosi saja biar kesannya attractive,” katanya ketika itu.
Menurutnya, brain washing itu bukan terapi apalagi tindakan prevensi, metode itu hanyalah prosedur diagnosis saja.
Dia menganalogikannya dengan metode rontgen. Ketika orang di-rontgen untuk diketahui apakah ada masalah dengan organnya, orang tidak bisa langsung sembuh karena itu hanya metode mendiagnosis, bukan terapi apalagi tindakan prevensi.
Jadi, menurutnya ketika itu, dokter Terawan dan pasiennya itu sudah salah kaprah.
Tindakan prevensi agar orang tidak stroke atau penyumbatan darah di otak adalah dengan cara tidak merokok, olahraga, tidak minum alkohol, mencegah kegemukan, menghindari stress, bukan dengan cuci otak yang sampai kini tak diketahui obat jenis apa yang dimasukkan.
Prof. Hasan menjelaskan hanya ada satu zat yang dapat digunakan untuk menghancurkan bekuan darah yang menyumbat aliran yaitu golongan obat yang disebut dengan thrombolysis.
Diantaranya adalah recombinant tissue plasminogen, activator (Rtpa), streptokinase dan urokinase. Namun obat tersebut sangatlah berbahaya yang dapat menyebabkan pendarahan otak yang dapat merenggut nyawa. Obat ini juga dilarang diberikan untuk tidakan prevensi.
Menurut dia, dokter Terawan telah melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yaitu menyembunyikan fakta tentang metode pengobatan yang digunakan. Dokter Terawan tak mau menjawab tentang obat apa yang dimasukkan ke dalam metode Brain Washing.