Bisnis.com, JAKARTA –Menurut WHO di tahun 2016, secara global, terdapat sekitar 35 juta orang yang mengalami depresi, 60 juta orang dengan gangguan bipolar, 21 juta orang mengidap Skizofrenia, dan 47,5 juta orang dengan demensia.
Sementara itu, di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan pengidap prevalensi gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia mencapat 400.000 orang, atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.
Skizofrenia sendiri merupakan penyakit yang mengurangi kualitas hidup seseorang. Dan terkadang kemunculannya tidak disadari. Jadi sangat penting untuk mengetahui gejala atau risikonya.
Tanda-tanda Skizofrenia yang paling sering muncul adalah gejala delusi, atau sesuatu yang dianggap nyata tetapi hal tersebut hanya sebuah ilusi belaka, seperti delusi tuduhan yaitu rasa tertuduh, delusi referensi yaitu perasaan yang sering ia anggap berkaitan dengan dirinya padahal sama sekali tidak ada kaitannya.
Delusi grandeur yaitu firasat bahwa diri ini merupakan hasil reinkarnasi tokoh dan delusi kontrol, yaitu perasaan bahwa pikiran yang sikapnya sedang di kontrol oleh mahluk asing.
Tanda-tanda lainnya yaitu halusinasi, gaya bicara yang tidak beraturan, tingkah laku aneh atau tidak biasa kemudian sikapnya tidak beraturan, susah tidur atau insomnia, gangguan emosional dan sering curiga terhadap hasil halusinasinya.
Sayangnya, meskipun prevelansinya cukup tinggi, fakta yang dikeluarkan WHO, Mental Health Gap Action Programme (mh GAP) pada tahun 2008 telah diperkirakan lebih dari 75% orang di negara berkembang didunia tidak memiliki fasilitas, akses dan layanan kesehatan yang cukup baik,
Padahal pengidap Skizofrenia memiliki gangguan jiwa yang parah, gangguan berfikir yang memengaruhi bahasa, persepsi, dan rasa kesadaran diri yang semakin tipis. Hal tersebut akan berdampak kepada kemampuannya untuk bekerja, belajar dan pengendalian jiwa.
Menyikapi hal tersebut, maka dibutuhkan partisipasi dari semua elemen masyarakat untuk membantu dan peka terhadap orang yang memiliki tanda-tanda Skizofrenia dan segera bantu untuk berobat di rumah sakit terdekat.
Demi mewujudkan kepedulian bersama untuk pengobatan Skizofrenia, Johnson & Johnson mengadakan Southeast Asia Mental Health Forum 2018 di Jakarta, Agustus Lalu.
Lebih dari 150 Peserta yang berasal dari kalangan bisnis, pemerintah, organisasi internasional, masyarakat sipil, akademisi dan media berpartisipasi dalam forum ini. Hal ini dilaksanakan guna menutup kesenjangan dalam penanganan dan manajemen Skizofrenia di Asia Tenggara.
Presiden Direktur Pt. Johnson & Johnson, Lakish Hatalkar, menyatakan bahwa tidak ada negara yang kebal terhadap tantangan kesehatan jiwa, tetapi kita harus tetap berusaha untuk meminimalisir hal tersebut.
“Peran dari semua para pemangku kepentingan sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa setiap orang karena kondisi fisik dan mental yang sehat adalah elemen utama untuk membentuk mahluk sosial dan ekonomi yang baik,” ucapnya.