Bisnis.com, JAKARTA -- Penyakit gangguan ginjal ternyata tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Viara Hikmatunnisa, gadis berusia 14 tahun asal Situbondo, Jawa Timur ini merupakan salah satunya.
Di usianya yang masih sangat belia, Viara harus menjalani serangkaian cuci darah atau hemodialisis demi untuk bertahan hidup. Gagal ginjal yang dialami Viara bermula dari penyakit lupus yang menyerang sistem imunitas di dalam tubuhnya.
Sebelum didiagnosis gagal ginjal, Viara ternyata telah mengalami tujuh kali operasi. Sekitar 2011, gadis yang kala itu berusia 7 tahun sempat mengeluhkan kembung di perut. Ketika diperiksa, rupanya ada usus buntu yang pecah sehingga dia harus dioperasi.
Baca Juga Inspirasi Batik Bergaya Milenial |
---|
Beberapa bulan setelahnya, gadis cilik tersebut masih mengeluhkan hal yang sama, kondisinya malah kian memburuk. Setelah dibawa ke rumah sakit, ternyata ada perlengketan usus, bahkan ususnya sudah menghitam dan membusuk sepanjang 70 centimeter sehingga harus dioperasi kembali.
Berkali-kali dioperasi, akhirnya gadis yang kini duduk di atas kursi roda tersebut harus drop sehingga membuatnya sempat koma selama 50 hari. “Setelah dia sadar dan dibawa pulang ke rumah, 2 minggu kemudian ketika kontrol kembali, Viara divonis mengalami gangguan ginjal yang mengharuskannya cuci darah,” ujar Syaiful Hadi, ayah dari Viara.
Namun, Syaiful mengalami kesulitan menemukan klinik cuci darah untuk anak karena sebagian besar diperuntukkan bagi orang dewasa. Akhirnya, gadis yang lahir 22 Juli tersebut dibawa ke RSCM Jakarta untuk terapi hemodialisis di klinik khusus anak.
Dokter spesialis anak dari RSCM Eka Laksmi Hidayati mengatakan lupus yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh Viara melemah, membuatnya rentan terkena berbagai penyakit kronis, termasuk gagal ginjal.
“Ketika dia dioperasi berulang itu bisa jadi sudah dalam kondisi lupus sehingga terjadi infeksi dan operasi berulang-ulang. Ditambah dengan riwayat dehidrasi saat ususnya terpotong yang membuat sistem kerja ginjalnya menjadi terganggu,” ujarnya.
Eka memaparkan bahwa gangguan ginjal pada anak terbagi menjadi dua, pertama bawaan sejak lahir ditandai dengan adanya kelainan bentuk ginjal dan saluran kemih. Kedua, gangguan ginjal yang didapatkan setelah lahir biasanya ditandai dengan infeksi saluran kemih dan radang ginjal akibat berbagai proses yang bukan infeksi.
Gangguan ginjal pada anak juga terbagi atas akut dan kronik. Biasanya gangguan ginjal akut yang terjadi secara mendadak dan singkat ini disebabkan oleh penyumbatan sistem penyaringan ginjal, trauma luka bakar, dehidrasi, pendarahan, dan cedera atau operasi.
Adapun gangguan ginjal kronis terjadi secara perlahan lebih dari 3 bulan. Jika tidak segera ditangani akan dialami seumur hidup dan tidak bisa disembuhkan.
Berdasarkan data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) disebutkan bahwa pada 2017 terdapat 212 anak dari 19 RS di Indonesia yang mengalami gangguan ginjal dan menjalani cuci darah. “Angka kematian dari kasus gagal ginjal pada anak ini mencapai 23,6%,” ungkapnya.
Sementara itu, di RSCM sepanjang 2007 hingga 2009 terdapat 150 anak yang mengalami gangguan ginjal kronik, serta 13 proses transplantasi ginjal pada 2017 hingga 2018.
Untuk itu, orang tua perlu waspada dan mengenali gejalanya sejak dini. Pasalnya, jika sudah mengalami gangguan, ginjal tidak dapat lagi disembuhkan. Proses cuci darah yang dilakukan bukan memulihkan kerja ginjal, melainkan hanya untuk mengganti fungsi ginjal terutama dalam proses penyaringan limbah dalam tubuh.
Menurutnya, beberapa tanda dan gejala yang umumnya dialami oleh anak yang mengalami gagal ginjal antara lain mual dan muntah, hilangnya nafsu makan, perasaan lemah dan lesu, mengeluhkan adanya sesak napas dan sakit perut.
Selain itu, anak akan mengalami mati rasa, kesemutan, terbakar di kaki dan tangan, akan ada pembengkakkan pada pergelangan kaki dan tangan, adanya darah dalam urin baik kasat mata maupun tidak kasat mata, serta peningkatan jumlah sel darah putih pada urin.
Risiko Kematian
Orang tua harus peka terhadap gejala dan segera membawa ke fasilitas kesehatan jika melihat adanya tanda-tanda. Pasalnya, tidak sedikit orang tua yang membawa anak ketika sudah masuk pada stadium lanjut. Di RSCM sendiri, sambungnya, sekitar 22% penderita gangguan ginjal pada anak, datang setelah stadium lanjut.
“Kalau sudah stadium lanjut, maka harus lakukan cuci darah atau transplantasi ginjal. Risiko kematian pada anak dengan gangguan ginjal kronik stadium akhir ini pun 30 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak pada umumnya,” terangnya.
Sementara itu, Cut Putri Arianie, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular mengatakan meskipun gangguan ginjal tidak selalu dapat dicegah, tetapi orang tua dapat menekan kemungkinan terjadinya gangguan ginjal pada anak.
Pertama, jika anak memiliki kondisi kesehatan jangka panjang yang menjadi penyebab gangguan ginjal, seperti diabetes dan hipertensi, orang tua harus memastikan kondisi kesehatan tersebut terkontrol, baik dengan menjalani gaya hidup sehat maupun konsumsi obat-obatan teratur.
Lakukan aktivitas fisik secara rutin yang diimbangi diet sehat dengan mengonsumsi gizi seimbang dan konsumsi air putih secukupnya setiap hari. “Pada anak konsumsi air minimal 6 gelas per hari dapat menurunkan risiko gangguan ginjal,”ujarnya.
Kementerian Kesehatan sendiri mengadakan serangkaian kegiatan promotif dan preventif meliputi sosialisasi dan diseminasi informasi tentang gangguan ginjal pada anak; serta pencanangan Gerakan Ayo Minum Air (AMIR).