Ilustrasi bunuh diri/Istimewa
Health

Orang-orang yang Berisiko Bunuh Diri, Risk Taker hingga Faktor Genetik

Syaiful Millah
Minggu, 11 Agustus 2019 - 09:29
Bagikan

Kasus bunuh diri telah lama menjadi polemik di masyarakat luas. Fenomena ini seringkali dikaitkan dengan tingkat depresi yang tinggi yang bisa dipicu oleh lingkungan sekitar, hingga unsur genetik yang ada pada seseorang.

Berdasarkan laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diterbitkan pada 2018 menyebutkan bahwa hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Tak hanya itu, bunuh diri juga menjadi penyebab kematian nomor dua di antara anak berusia 15—29 tahun. Sebanyak 79 persen dari bunuh diri global terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Di Indonesia, angka kasus bunuh diri menurut data WHO mencapai 840 kasus pada 2013. Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) Kementerian Kesehatan juga menyebutkan bahwa prevalensi keinginan bunuh diri di Indonesia mencapai angka 0,8 persen pada laki-laki, dan 0,6 persen pada perempuan.

Spesialis kedokteran jiwa Universitas Indonesia Nova Riyanti Yusuf mengatakan, penelitian terbarunya menemukan bahwa 5 persen dari pelajar sekolah lanjutan tingkat atas di Jakarta memiliki ide bunuh diri. Ini merupakan hal serius yang harus segera ditangani.

Menurutnya, salah satu langkah penting yang dapat dilakukan adalah deteksi dini dengan tujuan menemukan faktor risiko penyebab terjadinya bunuh diri pada remaja.

“Beberapa faktor risiko yang ditemukan yaitu pola pikir abstrak yang menimbulkan perilaku risk taker, transmisi genetik yang dapat menimbulkan sifat agresif dan impulsif, memiliki riwayat gangguan jiwa lain, lingkungan sosial yang tidak mendukung, dan penyalahgunaan akses internet,” katanya.

Pada perilaku risk taker, remaja lebih memiliki pola pikir yang abstrak dan seringkali tertantang untuk mencoba segala hal, termasuk ke arah pola hidup yang tidak baik. Saat ini istilah kenakalan remaja bukan hal yang jarang kita dengar.

Sayangnya, tidak sedikit pula yang hanya menganggap ungkapan tersebut bagai angin lalu, padahal bisa jadi itu merupakan langkah awal seorang remaja memiliki pikiran negatif yang mengarah pada keinginan untuk bunuh diri.

KELUARGA HEMINGWAY

Sementara itu, transmisi genetik terkait dengan kasus bunuh diri memang banyak menjadi perdebatan. Satu contoh yang paling populer adalah Ernest Hemingway, seorang penulis terkenal yang melakukan bunuh diri.

Tampaknya, hal itu merupakan kasus perorangan yang acap kali terjadi pada pelaku profesi tertentu, akan tetapi yang mengejutkan adalah ternyata tidak hanya dia yang melakukan bunuh diri di keluarganya. Ada lima anggota keluarga terdekat Hemingway lainnya, yakni ayah, dua orang saudaranya, dan cucunya.

Penyakit keturunan yang diderita keluarga Hemingway dikenal sebagai hemokromatosis di mana terjadi konsentrasi zat besi yang berlebihan di dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada pankreas atau ketidakstabilan dalam cerebrum dalam otak depan yang menyebabkan depresi.

“Faktor genetik memang punya peran dalam risiko gangguan jiwa, termasuk juga bunuh diri. Itu [bunuh diri] bisa jadi output dari depresi berat atau skizofrenia yang disebabkan oleh keturunan,” kata dokter yang akrab disapa Noriyu itu.

Selain itu, faktor risiko bunuh diri yang muncul belakangan adalah depresi akibat tekanan lingkungan yang tidak sehat dan akses informasi. Beberapa kasus bunuh diri yang terjadi karena hal tersebut misalnya ada informasi pribadi yang tersebar ke media sosial.

RISIKO SEORANG PENGGEMAR

Bahkan, lebih parahnya ada kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang penggemar ketika mengetahui idolanya meninggal, “Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi menjadi pendorong juga terkait hal ini, tetapi memang pada akhirnya kita harus membentengi diri sendiri dan orang-orang terdekat,” katanya.

Hal lain yang bisa mendorong seseorang melakukan bunuh diri adalah rasa kesepian, tidak berdaya, merasa tidak terikat dengan komunitas di sekitarnya, dan menjadi beban bagi orang lain.

Salah satu cara paling mudah untuk melakukan pendeteksian dini adalah melalui pengecekan bahwa telah terjadi perubahan 3P (pikiran, perasaan, dan perilaku) dalam kurun waktu yang lama pada seseorang. Hal tersebut bisa menunjukkan bahwa orang itu tengah mengalami masalah atau depresi.

“Ini bukan isu yang sepele. Pencegahan dan penanganannya harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari tingkat perorangan, sekolah, dan pemerintah juga harus ambil andil terkait hal ini.”

Penulis : Syaiful Millah
Sumber : Bisnis Indonesia Weekend
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro