Bisnis.com, JAKARTA— Dalam Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2 bertajuk Lini Transisi yang digelar pada 2-31 Agustus 2019 di Galeri Nasional Indonesia Jakarta, beberapa karya dari S.Sudjojono ditampilkan kembali.
Salah satunya adalah reproduksi dari lukisan raksasa Penyerangan Pasukan Mataram ke Batavia Tahun 1628-1629 (cat minyak pada kanvas, 300 x 1.000 cm, 1973-1974)
Kurator Suwarno Wisetrotomo menjelaskan bahwa lukisan Sudjojono mengenai penyerangan pasukan Mataram ini ditampilkan karena alasan penting. Salah satunya adalah karena lukisan ini merupakan sebuah karya lukisan yang sangat cerdas diterjemahkan oleh Sudjojono.
“Bagaimana cerita tentang pemberontakan Mataram ke Batavia dan kematian J.P. Coen pada masa penyerangan itu,” ujarnya.
Dalam sebuah kesatuan, lukisan tersebut ditampilkan dalam tiga bagian yakni bagian kiri, tengah, dan kanan. Bagian kiri, menunjukkan sebuah cerita internal di kerajaan Mataram saat Sultan Agung mengatur siasat dengan pasukannya.
Sementara itu, di bagian paling kanan, digambarkan bahwa J.P. Coen sedang menerima kunjungan Kyai Rangga yang tampak seperti memberikan upeti, tetapi sebenarnya tengah memata-matai pihak lawan. Bagian tengah, barulah peristiwa pertempuran.
Suwarno mengatakan bahwa lukisan ini bermakna penting dalam konteks Jakarta sebagai ibu kota Indonesia yang ternyata pada masa itu sudah pluralis, multikultur, dan multietnik. “Karena pasukan Mataram yang menyerbu Batavia itu terdiri dari orang Makassar, Sunda, Jawa, alias sekumpulan pasukan nekat,” ujarnya.
Lukisan ini secara epik menceritakan cerita masa lalu, sekaligus juga mengantarkan pesan moral yang luar biasa tentang keragaman Indonesia.
Konon, Ali Sadikin mempercayakan lukisan ini kepada Sudjojono karena dia merupakan pelukis multitalenta yang sangat berbakat, kritis, dan seorang tokoh pada masa itu. “Dalam pandangan saya, Ali Sadikin sangat paham betul tentang sejarah Batavia, termasuk penyerangan Mataram yang sangat monumental, yang terkait dengan harga diri bangsa yang diwakili oleh Mataram,” ujarnya.
Lukisan Sudjojono ini bertolak dari riset yang mendalam dan sungguh-sungguh. Untuk menghasilkan karya dengan kompleksitas cerita, pelukis harus melakukan riset yang sangat detail.
“Dia mencari tahu cara duduk Sultan Agung seperti apa, pakaiannya seperti apa, senjata dan alat perang yang digunakan seperti apa, posturnya seperti apa, semua diteliti dan dibuat sketsa terlebih dahulu oleh Sudjojono,” ujar Suwarno.
Menurutnya lukisan ini dibuat dengan sangat serius oleh Sudjojono karena bertolak dari dokumentasi historis. Sebuah contoh dan teladan yang sangat hebat untuk para seniman masa kini untuk belajra bahwa melukis dengan tema historis harus berbasis riset mutlak, demi akurasi dan detail.
Kurator Rizky A. Zaelani mengatakan bahwa Sudjojono menggambarkan keperkasaan Sultan Agung yang berhasil memimpin pasukan non-Jawa. Artinya lukisan ini benar-benar menunjukkan bahwa sejak dulu, Bhineka Tunggal Ika itu sudah ada.
Sudjojono dinilainya dapat menyampaikan catatan sejarah dalam bentuk lukisan. Dia bukan sejarawan, tetapi berhasil menciptakan sebuah catatan sejarah yang hidup dari satu sisi dari kompleks cerita sejarah pertempuran itu.
“Ketimbang menceritakan keseluruhan penyerangan Mataram ke Batavia, Sudjojono justru menceritakan cerita masa kini di mana Jakarta bergantung dari Mataram, buktinya banyak pemimpin Jakarta atau yang berasal dari Mataram atau luar Jakarta, bukan dari Betawi,” kata Rizky. Dia menilai bahwa inilah yang menjadi salah satu dimensi profetik dari kekaryaan Sudjojono.