Anak Garuda (2020) / Butterfly Pictures
Entertainment

Narasi Drama Anak-Anak Garuda

Syaiful Millah
Minggu, 19 Januari 2020 - 10:44
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA —Tujuh orang siswa dan siswi berlatar belakang kurang mampu dari penjuru timur pulau Jawa berdiri di hadapan Menara Eiffel, Perancis. Pertikaian dan perjuangan telah mewarnai perjalanan mereka untuk sampai di Benua Biru tersebut.

Kisah itu merupakan cerita yang dibawakan dalam film terbaru berjudul Anak Garuda yang telah tayang sejak Kamis (16/1) lalu di seluruh bioskop Indonesia. Film terinspirasi dari kisah nyata anak-anak muda dari sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) yang berlokasi di Batu, Malang, Jawa Timur.

Produser dan co-sutradara film Verdi Solaiman menuturkan, dirinya sangat tersentuh dengan keberadaan SPI yang menjadi wadah bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu dan berbagai latar belakang untuk mengenyam pendidikan.

Tak hanya itu, SPI juga memberikan berbagai pelajaran keterampilan yang mendorong para siswa dan siswinya mengembangkan kapasitas dan kualitas diri dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat, “Mereka ini sangat meinginspirasi, ada segudang cerita yang bisa menjadi contoh bagi banyak orang. Karena itu juga saya bersama tim ingin sekali menjadikan ini sebuah film layar lebar,” katanya.

Film Anak Garuda disutadarai oleh Faozan Rizal dan skenarionya ditulis oleh Alim Sudio. Cerita dimulai pada periode awal SPI didirikan, ketika itu Koh Jul (Kiki Narendra) selaku penggagas dan pendiri sekolah harus pergi untuk beberapa waktu meninggalkan sekolah.

Dia akhirnya menunjuk seorang pemimpin dari salah satu siswanya untuk mengurusi operasional sekolah dan divisi bisnis yang telah dimiliki. Orang itu adalah Yohana (Violla Georgie) yang dibantu oleh rekan seangkatannya Sayidah (Tissa Biani), Robet (Ajil Ditto), Olfa (Clairine Clay), Wayan (Geraldy Kreckhoff), Sheren (Rania Putrisari), dan Dila (Rebecca Klopper).

Tidak selalu berjalan lancar, mereka bertujuh tak jarang bersitegang sehingga menghasilkan pertikaian hingga pertengkaran. Keadaan ini timbul dan tenggelam bahkan ketika mereka berada di daratan Eropa, yang menjadi bentuk hadiah dari Koh Jul atas keberhasilan mengelola pekerjaan dengan baik.

Benua Biru itu menjadi tempat ketujuh siswa/i SPI untuk berlibur sekaligus belajar tentang berbagai hal semisal seni, kuliner, pertunjukan, dan lain-lain. Namun sekali lagi, pertikaian yang terjadi justru membuat mereka renggang.

Yohana, Sayidah, Robet, Olfa, Wayan, Sheren, dan Dila harus mengelola ego masing-masing hingga akhirnya mereka bisa bersatu kembali sebagai sebuah tim, kelompok, dan keluarga yang berasal dari rumah yang sama, sekolah Selamat Pagi Indonesia.

Alim menuturkan kesulitan penulisan cerita film Anak Garuda terletak pada pemilihan cerita yang akan diangkat, “Mereka ini punya banyak sekali cerita yang menarik. Ini agak sulit untuk memilih dan memilah mana yang akan dimasukkan ke dalam plot sehingga menjadi sebuah cerita utuh,” katanya.

Dia mengungkapkan, orisinalitas cerita yang diangkat dari kisah anak-anak di SPI mencapai 80%, sisanya merupakan penambahan unsur cerita fiktif yang menjembatani antara peristiwa satu dan yang lainnya. Bagi Alim, skenario ini merupakan upaya terbaiknya menyampaikan pesan semangat dan perjuangan di dalam film.

Sementara itu, Faozan selaku sutradara telah merangkum film ini sebagai sebuah sajian sinema yang menarik. Para pemeran diarahkan dengan sangat proporsional kendati ada beberapa hal minor yang terkesan agak dipaksakan seperti logat bicara.

Pengambilan gambarnya boleh diacungi jempol. Tak aneh memang, mengingat Faozan telah menjadi sinematografer untuk film-film besar di Indonesia. Gambar yang disajikan dalam film ini sangat enak dipandang.

Satu hal lagi yang memperkuat cerita dalam film ini adalah pemilihan dan penempatan musik yang tepat, menambah kesan mendalam di setiap adegan yang dilakukan para pemain. Seluruh tim yang terlibat secara umum telah menghasilkan film yang memiliki pengalaman menonton sangat menarik, menyenangkan sekaligus mengharukan.

Anak Garuda merupakan film perdana dari rumah produksi Butterfly Pictures, sebuah divisi bisnis baru yang dikembangkan dan dikelola oleh anak-anak SPI. Executive Director Butterfly Pictures Yohana Yusuf mengungkapkan ini menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi mereka.

Dia berharap, karya sinema ini bisa menjadi film yang memberikan inspirasi bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya bagi para generasi milenial untuk terus berjuang meraih mimpi. Di luar itu, dia juga berharap film ini bisa dinikmati sebagai sebuah sajian yang menghibur bagi para penikmat film.

“Ini memang proyek perdana, tapi kami tidak main-main mengerjakannya. Semoga bisa memberikan pengalaman yang menghibur dan mendidik untuk semua penonton. Kami berkomitmen ke depannya akan terus membuat karya-karya lainnya yang menginspirasi,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Syaiful Millah
Editor : Miftahul Ulum
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro