Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah bakal melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan melalui rancangan undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga.
Dalam pasar 25 ayat 2 dan 3 berisi tentang kewajiban suami dan istri. Pasal 25 ayat 2 berisi tentang kewajiban suami antara lain memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga.
Sedangkan dalam pasar 3, tertulis bahwa istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga dan memperlakukan suami dan anak secara baik.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Nopitri Wahyuni, menilai RUU Ketahanan Keluarga menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Dia mengungkapkan bahwa secara spesifik, mengkotak-kotakan peran suami dalam wilayah ekonomi dan peran istri dalam wilayah domestik, memicu adanya potensi adanya domestikasi perempuan.
Adanya kewajiban mengatur urusan rumah tangga bagi istri mengecilkan konteks sosio-ekonomi di Indonesia, yang banyak mendorong perempuan terlibat dalam aktivitas ekonomi.
“Bagaimana dengan perempuan kepala keluarga (single-headed family), misalnya, “ tukas Nopitri melalui siaran pers yang diterima Bisnis, Kamis (20/2/2020).
Pandangan tentang kewajiban istri dalam urusan rumah tangga banyak membatasi perempuan terlibat aktif dalam aktivitas ekonomi dan sosial-politik. Hal ini pun yang menyebabkan perempuan dalam pasar kerja masih dianggap sebagai tenaga kerja cadangan alias reserve labor force karena perempuan pun harus mengampu urusan rumah tangga.
Padahal, jika RUU Ketahanan Keluarga mendukung adanya pembagian peran yang seimbang dalam keluarga, tugas-tugas pengaturan rumah tangga maupun pengasuhan anak pun dapat dilakukan oleh suami. Salah satu komunitas yang mendorong pembagian peran setara tersebut diangkat oleh Komunitas Bapak Rangkul maupun Aliansi Laki-Laki Baru.
Nopitri menjelaskan, konteks keragaman dan dinamika perkembangan keluarga di Indonesia, seharusnya dapat ditangkap untuk mengatasi kerentanan keluarga yang dimaksudkan dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dia berpesan, kesetaraan gender kini sudah lumrah tanpa melupakan konteks di masyarakat
“Selain itu, usulan RUU ini juga jelas mencampuri urusan privat warga negara, dimana seharusnya kebijakan fokus pada masalah yang urgen dan relevan dengan kepentingan masyarakat dan bukan mencampuri ranah pribadi." ujar Nopitri.
Selain itu, Nopitri menyoroti pula Pasal 85-89 RUU Ketahanan Keluarga yang menyatakan bahwa lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) termasuk ke dalam kategori penyimpangan seksual sehingga perlu melapor dan mendapatkan pengobatan dan rehabilitasi sosial.
Kebijakan ini justru malah mengesampingkan dan mendiskriminasi kelompok tersebut. Mereka masih menjadi target kebencian dan ketakutan dalam konteks masyarakat maupun kebijakan. Nopitri memerinci, masyarakat masih dalam budaya dan definisi akan hubungan dan keluarga yang tidak mengikutsertakan kelompok minoritas seksual di dalamnya.
“Pemahaman mengenai kesadaran gender pun masih terbatas sehingga kerap terjadi diskriminasi dan peminggiran terhadap orang-orang yang dianggap tidak mengikuti kaidah normal,” tambahnya.
Saat ini, perkembangan perawatan psikologis maupun rehabilitasi melalui terapi tengah berupaya menekankan konsep kesetaraan dan inklusivitas. Dalam praktik terapi keluarga, Nopitri menegaskan perbedaan gender maupun orientasi seksual menjadi salah satu prinsip penting yang dihormati untuk melihat pengalaman masing-masing individu di tengah-tengah masyarakat.
Nopitri menegaskan, RUU Ketahanan Keluarga masih terjebak dalam pandangan heteronormatif yang tentu sudah usang dan diskriminatif sehingga sangat perlu dievaluasi kembali urgensinya.