Bisnis.com, JAKARTA – Wabah virus Corona yang terjadi sekarang ini di sejumlah negara telah menimbulkan kekhawatiran global.
Serangan virus yang kadang tidak menunjukkan gejala standar, seperti suhu tubuh di atas 37,5 derajat Celcius bisa membuat kita merasa aman-aman saja.
Namun, bisa saja kita secara tak sadar terhinggapi sang virus, menjadi carrier (begitu istilah kerennya), lantas secara tak sadar pula menyemprotkan virus itu ke orang lain bahkan dalam jumlah banyak.
Jika itu terjadi, maka kita telah menjadi superspreader (dari kata super dan spreader), penyebar virus Corona yang belum diketahui penangkalnya.
Itu sebabnya, social distancing measures menjadi salah satu cara untuk menghindari penyebaran virus Corona saat ini.
Berbagai pola dilakukan di sejumlah negara untuk mengamankan masyarakatnya. China memulai dengan lockdown atau isolasi sejumlah wilayah. Italia, Prancis, Malaysia juga negara lain memilih caranya sendiri. Inti tujuannya hanya satu, menghindari penyebaran penularan.
Baca Juga Jokowi Instruksikan Rapid Test, Gugus Tugas COVID-19 Diminta Libatkan RS dan Lembaga Riset |
---|
Apa yang dimaksud Superspreader?
Menurut Septian Hartono, praktisi kesehatan dan peneliti MRI di salah satu rumah sakit umum di Singapura, yang juga Asisten Profesor di Duke-NUS Medical School menyebutkan pengertian superpreader.
“Superspreader adalah sebutan bagi orang yang menyebabkan orang lain sakit dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari biasanya (Stein, 2011). Data menyebutkan bahwa orang yang sakit COVID-19 dapat menyebabkan 2-3 orang lain sakit (WHO, 2020). Namun, seorang superspreader COVID-19 dapat menularkan 10 orang sampai puluhan kali lipat dibanding orang biasa,” ujarnya seperti tertulis di situs kawalcovid19.id.
Seperti apa kasus Superspreader yang terjadi?
Septian menyebutkan kasus di Korea Selatan, saat pasien #31 yang memaksa ke tempat ibadah, justru menulari sedikitnya 70 jemaah.
Di Singapura, pasien #94 diduga menjadi superspreader. Ia diketahui mengunjungi Festival SAFRA di Jurong pada 15 Februari 2020.
Kasus di Italia, pasien #1 yang baru pulang dari China melakukan aktivitas seperti biasa, bepergian ke berbagai tempat.
Bagaimana dengan kasus Malaysia?
Pasien kes #26 alias pasien kasus 26 dianggap menjadi superspreader.
Pentingnya Mencegah Penularan
Mengomentari fenomena Superspreader, Ketua Komite Penelitian dan Pengembangan Mafindo Santi Indra Astuti menngingatkan agar masyarakat tak hanya berdebat.
Mahasiswa program doktoral di penang Malaysia ini mengingatkan pentingnya upaya bersama untuk mencegah penularan kepada banyak orang.
Aktivis di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia itu prihatin dengan munculnya angapan bahwa social distancing sebagai pelemahan sendi-sendi agama.
“Arab Saudi aja sudah mensterilkan Kabah, ini yang di Indonesia masih saja debat soal jarak di mesjidlah, hadits inilah, itulah, atau menganggap social distancing sebagai 'pelemahan sendi2 agama'," ujarnya menungkan kekesalan di akun Facebooknya.
Santi meminta agar tak perlu ada yang berlaku gagah-gahan untuk menjdai superspreader,
“Jangan remehkan potensi jadi superspreader. Social distancing itu harus. Solidaritas nasional diperlukan untuk mengatasi dampak Covid-19 bersama-sama. Jangan egois,” ujarnya dalam pesan tertulis kepada Bisnis.com, Kamis (19/3/2020).