Bisnis.com, JAKARTA - Riset Central Connecticut State University 2016 mencatatkan bahwa literasi Indonesia berada di tingkat kedua terbawah dari 61 negara.
Tunggul Harwanto, Pendiri Yayasan Rumah Literasi Indonesia mengatakan terdapat empat hal yang menyebabkan tingkat literasi di Indonesia masih rendah.
Pertama, kurangnya dukungan atau keterlibatan keluarga dalam membangun budaya membaca di rumah sehingga anak-anak tidak terbiasa menjadikan buku sebagai rujukan untuk mendapatkan informasi.
Kedua, akses buku yang berkualitas belum merata di sejumlah daerah. Anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan referensi buku yang beragam.
Ketiga, budaya literasi tidak hanya tentang tata kelola buku di perpustakaan, dalam hal ini masyarakat belum sepenuhnya mengambil peran untuk meningkatkan ekosistem literasi yang produktif bagi anak-anak.
Keempat, pemerintah dinilai belum mampu mengembangkan program literasi berbabasis gerakan. Bilapun ada selama ini hanya dianggap lebih ke arah seremonial yang cenderung mengarah ke sesuatu yang artificial.
Menurutnya, pemerintah memang sudah berupaya maksimal dalam mendorong literasi di Indonesia. Namun masih banyak hal yang harus dibenahi, terutama dalam meningkatkan semangat kolaborasi untuk mengembangkan budaya literasi, baik di sekolah maupun masyarakat.
Apalagi saat ini tingkat literasi di Indonesia masih belum merata. Berdasarkan data dari Kemendikbud, untuk kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta tentu tingkat literasinya sudah cukup tinggi tetapi beberapa daerah, khususnya di Papua, tingkat literasinya masih rendah.
“Tentu hal yang paling mendasar jika melihat data ini adalah kesenjangan akses. Banyak daerah-daerah di Indonesia yang perlu ditunjang infrastruktur yang baik agar warga bisa mendapatkan runag bagi pengembangan pengetahuan dan keterampilannya,” ujarnya.
Terkait Gerakan Literasi Nasional, Tunggul melihat bahwa gerakan tersebut harus ditingkatkan terutama bagi penyedia layanan pendidikan atau sekolah sehingga ruh gerakan tersebut bisa terus bertumbuh.
“Untuk saat ini GLN masih pada level pembiasaan, anak-anak hanya fokus pada urusan membaca secara artificial tetapi belum menghasilkan banyak produk literasi,” tuturnya.
Gerakan Akar Rumput
Untuk mendorong gerakan literasi di Indonesia, sejumlah komunitas dan pegiat literasi ikut membuka berbagai program, salah satunya seperti yang dijalankan oleh Rumah Literasi Indonesia.
Menurutnya, pemerintah perlu menyambut gerakan yang tumbuh dari akar rumput ini dengan lebih fleksibel sehingga dapat menjalin sinergitas yang lebih baik, dan mengikis program yang cenderung birokratis.
“Perlu juga memberi ruang yang luas bagi para pegiat literasi untuk mencari praktik baik dan bisa menjadi sumber inspirasi bagi gerakan yang lebih inovatif,” tambahnya.
Rumah Literasi Indonesia sendiri telah bergerak sejak 2014 dan berjejaring dengan 60 rumah baca yang tersebar di beberapa kota di Jawa Timur. Beragam program dirancang agar para pengelola dan pegiat literasi (relawan) dapat terlibat aktif untuk secara bersama-sama membangun iklim gerakan yang berkesinambungan.
Salah satu program untuk mengikis kesenjangan akses adalah program “Bookbuster”. Sebuah program yang mengajak seluruh warga untuk terlibat berdonasi dalam pengadaan sumber belajar, baik dalam bentuk buku, permainan tradisional, permainan edukatif dan lainnya, kepada rumah baca yang lokasinya di pelosok desa.
Untuk mendistribusikan semua hasil donasi tersebut ke rumah baca, pihaknya melibatkan club motor (geng motor) sambil melakukan perjalanan wisata taman baca. Menurutnya, program tersebut sudah berlangsung di beberapa daerah seperti Banyuwangi, Jember dan Bondowoso.
“Hasilnya rumah baca bertambah koleksi buku dan sumber belajar yang lain, masyarkat tergerak saling membantu dan para pengelola mendapat kesempatan meningkatkan kapasitasnya saat dikunjungi oleh para fasilitator dari Rumah Literasi Indonesia,” ujarnya.