Bisnis.com, JAKARTA - Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), Syahrizal Syarif menilai rapid test dianggap tidak signifikan untuk upaya penanggulangan virus corona di dalam perjalanan.
Adapun kemarin sempat ramai mengenai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/413/2020 Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), yang menyebut pelaku perjalanan baik domestik dan internasional sudah tidak ada lagi keterangan mewajibkan tes rapid maupun swab.
Sementara, untuk penemuan kasus baru dilakukan dengan pengecekan suhu tubuh di pintu masuk wilayah baik melalui bandara, pelabuhan, atau stasiun.
Namun Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan, Achmad Yurianto dalam keterangan resmi menegaskan penggunaan rapid test tetap dilakukan pada situasi tertentu seperti dalam pengawasan pelaku perjalanan.
"Dampaknya nggak banyak untuk upaya penanggulangan, itu menjadi syarat perjalanan saja," ujar Syarif kepada Bisnis, Rabu (9/9/2020).
Dijelaskannya, untuk upaya penanganan sebaiknya rapid test dilakukan 2 kali yang berjarak antara 7-10 hari, sebelum calon penumpang melakukan perjalanan baik domestik maupun internasional.
"Ada tidak ada, nggak ada dampaknya kalau rapid rest cuma 1 kali. Omong kosong. Tidak berdampak pada upaya pencegahan," tegas Syarif.
Lebih baik untuk upaya meminimalisir penularan virus corona dalam perjalanan, Syarif menyarankan agar penumpang lebih baik melakukan test swab (PCR).
"Harusnya PCR untuk pergerakan orang, kalau mau serius, dengan konsekuensi hasilnya lambat. Bahwa harganya mahal, soal lain lagi," sebutnya.
Lantas bagaimana dengan test suhu di destinasi wisata? Syarif menganggap hal tersebut tidak banyak berpengaruh terhadap upaya menurunkan kasus. "Karena orang dalam perjalannya cuma beberapa jam, sementara masa inkubasi (Covid-19) bisa 14 hari. Dalam menangkap orang positifnya banyak yang lolos," pungkasnya.