Bisnis.com, JAKARTA -- Tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional sebagai apresiasi karena batik sudah menjadi satu kebudayaan yang diakui di dunia oleh UNESCO.
Sayangnya, wastra Indonesia yang punya kekayaan falsafah sejarah dan budaya, bukan hanya batik. Masih ada songket hingga tenun ikat dengan ragam motif yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Menurut Perancang Busana Ghea Panggabean ada banyak sekali kainntradisional Indonesia yang cantik dan berpeluang mendunia seperti batik.
Berangkat dari kenangan akan perjalanan karir sebagai perancang busana, Ghea mengaku sejak awal karir justru jatuh hati pada kain jumputan. Dia menceritakan pengalaman menyusuri pasar tradisional di Palembang, Sumatra Selatan demi mendapatkan kain jumputan.
"Saya sangat bersyukur pada ibu-ibu yang mengembangkan jumputan. Itu menjadi trademark saja sejak 1980-an," ungkap Ghea kepada Bisnis beberapa waktu yang lalu.
Oleh sebab itu, ada sejumlah upaya yang bisa ditempuh oleh para perajin dan perancang busana mempopulerkan kain tradisional non batik. Tujuannya untuk bisa membawa ragam wastra Indonesia ini medunia dan diakui oleh UNESCO.
Salah satunya adalah dengan rajin memanfaatkan dan memamerkan kain tersebut dalam setiap kreasi terbaru. Sebagai contoh, sejak 1980an, Ghea mengaku sudah mencoba mengembangkan ide fashion modern dari tenun lurik Yogyakarta. Dia pun memulainya dengan mengajak kerjasama para perajin lurik di Yogyakarta.
Saat iini sejumlah wastra Indonesia non batik mulai menanjak popularitasnya. Sebut saja, tenun ikat dari Sumba, Nusa Tenggara Timur, dengan ciri khas pewarna alam indigo yang melalui proses dicelup.
Pengurus Yayasan Batik Indonesia ini pun mengaku sudah mencoba melakukan pendekatan dengan para perajin tenun ikat. Caranya dengan mendorong inovasi teknik produksi, pemberian ide motif dan desain kain, serta mendorong penggunaan tenun ikat tak terbatas pada pakaian saja. Artinya, konsumen juga didorong untuk memanfaatkan kain tenun untuk interior di rumah, misalnya, sebagai tirai jendela, sarung, hingga taplak meja.
Ghea pun sudah mencoba kerjasama dengan penenun, mengarahkan soal penggunaan benang yang lebih tipis. Misalnya dengan benang sutera agar menyesuaikan dengan minat pasar yang menyukai kain yang tidak panas.
“Mulai terlihat sekarang tenun Sumba dalam 10 tahun terakhir semakin meningkat animonya, dan sedang diusahakan menjadi penerus batik sebagai warisan budaya di UNESCO,” kata Ghea yang juga aktif mengurus Rumah Pesona Kain.
Ghea juga menganjurkan para pelaku kreatif khususnya desainer aktif untuk melakukan eksperimen lintas motif dan lintas daerah.
Misalnya, membuat desain pakaian dari kombinasi lintas motif dan lintas jenis kain. Dengan begitu ciri khas keragaman wastra Indonesia tetap terjaga harmonis di mata dunia.
Melalui label Ghea Fashion Studio, kini dia pun banyak memberikan kebebasan berekspresi dalam berbusana dengan menggunakan motif tradisional Indonesia.
Ghea mengaku kini sedang bersiap meluncurkan buku tentang 40 tahun perjalanan karir sebagai perancang busana. Buku tersebut kata alumnus Lucie Clayton College of Dress Making dan Chelsea Academy of Fashion ini diterbitkan oleh Rizzoli.