Bisnis.com, JAKARTA - Persepsi awam soal gangguan jiwa masih menjadi persoalan di Indonesia. Pasien kerap disembunyikan bahkan dipasung.
Mereka dianggap sedang menderita penyakit kutukan yang memalukan. Hal itu membuat pasien dengan gangguan jiwa jarang dilaporkan.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kementerian Kesehatan RI, Dr. Siti Khalimah, Sp. Kj., M.A.R.S. menyebutkan masyarakat masih kurang akses dan informasi tentang kesehatan mental.
Padahal, dengan informasi yang memadai masyarakat akan mengetahui bahwa gangguan jiwa bisa disembuhkan.
Gangguan jiwa sama halnya dengan penyakit lain yang dapat disembuhkan dengan penanganan yang benar.
Namun, fakta yang ada menunjukkan bahwa beberapa keluarga memilih untuk diam, menyembunyikan, mengucilkan atau memasung orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Tidak sedikit juga ODGJ yang berkeliaran di jalan-jalan karena ditinggalkan lantaran membuat malu keluarga.
Fenomena itu terjadi lantaran besarnya stigma dan diskriminasi yang berkembang di masyarakat. Tak hanya ODGJ saja yang dibuang, keluarganya pun akan dikucilkan oleh lingkungan sekitar.
"Ini adalah masalah yang sampai saat ini masih menjadi tantangan bagi kita, bagaimana masyarakat bisa mensejajarkan bahwa gangguan jiwa itu sama dengan penyakit yang lain, tapi bagi orang-orang yang menderitanya atau keluarganya dianggap sebagai aib sehingga disembunyikan, sehingga distigma," kata Dr. Siti dalam bincang-bincang "Sehat Sejiwa untuk Semua", Minggu (18/10).
Dr. Siti mengatakan sedikitnya ada 6.200 orang yang dipasung karena memiliki gangguan jiwa. Angka tersebut adalah jumlah yang terlapor. Pada kenyataannya, ujar dia, masih banyak ODGJ yang belum mendapat penanganan layak.
Indonesia melalui Kementerian Kesehatan mencanangkan program Indonesia Bebas Pasung pada 2010. Kementerian Sosial pada 2016 juga mencanangkan program "Setop Pemasungan" dan program ini dibuatkan nota kesepahaman pada 2017 antara Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Polri, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Beberapa alasan pemasungan disebutkan untuk menghindarkan ODGJ dari tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat sekitar karena menganggap pasien gangguan jiwa sebagai "sampah".
Stigma
Membawa ODGJ ke fasilitas kesehatan merupakan salah satu solusi. Namun, masih ada risiko pasien distigma sebagai "pasien RSJ" untuk selamanya. Hal ini akan berpengaruh pada masa depan ODGJ.
Misalnya, ketika seseorang yang pernah mengalami gangguan kejiwaan melamar kerja di sebuah perusahaan dan pada curriculum vitae terdapat riwayat sakit jiwa. Tentu orang tersebut tidak akan menjadi kandidat yang utama.
Dalam pergaulan sehari-hari, mantan ODGJ pun akan sulit kembali ke lingkungan sosial, karena ada stigma kemungkinan besar akan kambuh gangguan jiwanya.
Ketidakmampuan berkomunikasi dengan baik atau malu akan masa lalu, juga menjadi penyebab ODGJ sulit kembali di berada di tengah masyarakat.
"Ada stigma bahwa ODGJ itu enggak bisa sembuh dan segala macam, padahal kalau di luar negeri bisa diatasi dengan perawatan yang baik," ujar Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, Ph.D.
Kurangnya informasi dinilai menjadi salah satu penyebab banyaknya stigma negatif tentang gangguan jiwa atau kesehatan mental.
Gangguan jiwa belum menjadi isu utama layaknya masalah kesehatan lain seperti stunting, TBC, virus corona, kanker payudara dan lainnya.