Bisnis.com, JAKARTA - Upaya peningkatan literasi digital perlu terintegrasi dengan kurikulum karena terkait dengan kemampuan literasi baca tulis, yakni kemampuan membaca, menulis, mencari, menganalisis, mengolah dan membagikan teks tertulis. Sayangnya, performa Indonesia di bidang literasi baca tulis termasuk rendah.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza mengatakan salah satu faktor penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia adalah kurangnya penekanan pada keterampilan berpikir kritis sejak usia dini. Padahal, literasi digital perlu diasah sejak dari pendidikan dasar.
Kurikulum Nasional 2013 mengamanatkan penerapan high order thinking skills (HOTS) tetapi tidak terintegrasi dengan baik atau diajarkan secara luas selama pelatihan guru di Indonesia (Ilyas, 2015).
Dalam praktiknya, pendidikan Indonesia berfokus pada pendekatan pembelajaran yang kurang mengasah keterampilan berpikir kritis seperti menghafal dan mengerjakan soal-soal yang jawabannya dapat dengan mudah ditemukan di buku pelajaran tanpa melewati proses berpikir dalam.
Mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sekolah-sekolah juga belum optimal dalam meningkatkan literasi digital. Faktanya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 37 Tahun 2016 tentang implementasi pembelajaran TIK lebih berfokus pada kemampuan peserta didik dalam mengoperasikan perangkat teknologi dan internet daripada kemampuan menganalisis dan memproses informasi yang didapat secara daring.
“Padahal, literasi digital merupakan salah satu kemampuan yang dibutuhkan di abad 21. Keterampilan literasi digital memberi siswa kemampuan untuk berkembang dalam lingkungan digital yang dinamis seperti sekarang ini,” katanya melalui keterangan resmi yang diterima oleh Bisnis pada Rabu (31/3/2021).
Berdasarkan hasil survei Programme for International Students Assessment (PISA) 2018, Indonesia berada di peringkat 71 dari 79 negara. Hanya 30 persen peserta didik yang menunjukkan kemampuan level 2 dibandingkan dengan 77 persen peserta didik di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Baca Juga Digitalisasi Teater Koma di Masa Pandemi |
---|
Di sisi lain, 70 persen orang dewasa Indonesia berada di level 1 bahkan di bawahnya dalam bidang literasi menurut menurut Survey of Adult Skills 2015.
Dua survei ini memperlihatkan bahwa meskipun mayoritas orang Indonesia dapat memahami teks sederhana menggunakan kosakata dasar, mereka mengalami kesulitan untuk memahami dan secara kritis mengevaluasi teks yang panjang dan kompleks.
“Pemerintah perlu meneruskan upaya yang terstruktur untuk meningkatkan konektivitas antar daerah di Indonesia untuk memperkecil kesenjangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini akan membantu banyak hal, tidak hanya pendidikan, tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat,” jelas Nadia.
Indonesia memiliki tantangan struktural, yaitu ketimpangan akses internet antar daerah. Berdasarkan data dari BPS, persentase rumah tangga yang dapat mengakses internet tertinggi berada pulau Jawa dan lebih rendah di wilayah timur Indonesia. Sebagai contoh, persentase rumah tangga tertinggi yang mengakses internet di Provinsi DKI Jakarta sebesar 93,33 persen dan terendah di Papua sebesar 31,31 persen.
Sebelum pandemi, persentase masyarakat berusia 5-24 tahun yang menggunakan internet meningkat dalam empat tahun terakhir, dari 33,98 persen ke 59,3 persen. Seperempat dari populasi pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak dan remaja.
Dapat diperkirakan adanya peningkatan pengguna internet di kalangan anak-anak dan remaja selama masa pandemi akibat kebijakan belajar dari rumah (BDR). Peningkatan aktivitas secara daring selama masa pandemi ini semakin memperkuat urgensi peningkatan digital literasi bagi masyarakat.
Untuk mendukung upaya peningkatan literasi digital, Nadia merekomendasikan beberapa hal. Pertama, mengingat urgensi peningkatan literasi digital, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) harus berpikir ulang dalam menyusun kurikulum mata pelajaran TIK agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Menurut Nadia, ada baiknya apabila konten pembelajaran TIK lebih memprioritaskan pengajaran dalam penggunaan dan menyampaikan informasi yang didapat secara daring dengan bertanggung jawab, mengidentifikasi informasi daring yang dapat dipercaya dan cara mengamankan peserta didik selama aktivitas daring mereka.
Kompetensi seperti ini akan sangat relevan dengan tuntutan era digital saat ini. Di sisi lain, upaya ini perlu diimbangi dengan keterlibatan orang tua dalam mengawasi anaknya. Ada baiknya Kemendikbud juga menjalin kerjasama yang komprehensif dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang memiliki berbagai inisiatif terkait dengan literasi digital seperti Siberkreasi.
Kurikulum ini harus diprioritaskan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menganalisis, mengevaluasi, dan membagikan informasi digital secara bertanggung jawab.
Selain itu, penting pula membekali peserta didik dengan kemampuan untuk mengidentifikasi sumber informasi yang dapat dipercaya, kiat-kiat untuk melindungi diri mereka selama aktivitas daring mereka agar terhindar dari perundungan siber (cyberbullying), penipuan (online fraud), pelanggaran privasi (privacy breach) dan lain-lain.
Kemendikbud dan Kemenag juga perlu mengevaluasi bagaimana berpikir kritis diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Kebiasaan seperti bekerja secara berkelompok dengan teman sekelas, memperbanyak porsi soal-soal latihan yang mengasah pemikiran kritis dan memupuk model pembelajaran yang mengutamakan kebiasaan bertanya, menganalisis dan menyatakan argumen dalam diskusi harus diperkuat sebagai pondasi dalam peningkatan literasi digital.
Upaya ini dilakukan oleh negara-negara maju yang memiliki literasi digital yang tinggi seperti Swiss dan Finlandia. Indonesia dapat mengambil contoh dari negara-negara yang sukses mengimplementasikan materi literasi digital dan menerapkannya dengan konteks lokal.
“Materi literasi digital juga harus disertakan dalam pelatihan guru. Tanpa meningkatkan kompetensi TIK yang rendah dan pedagogi berpikir kritis di antara para guru, mereka tidak akan dapat berperan dalam meningkatkan literasi digital siswa. Jadi materi literasi digital tidak hanya perlu disertakan dalam kurikulum 2013 tapi juga dalam kurikulum pelatihan guru. Hal ini juga merupakan bentuk adaptasi pemerintah terhadap tantangan yang dihadapi para guru di masa sekarang ini,” terangnya.
Selanjutnya, internet merupakan kawasan yang dinamis dan selalu berubah dan tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pendidikan akan kesulitan untuk mengejar ketertinggalan. Untuk meningkatkan dinamisme pendidikan literasi digital, Kemendikbud dan Kemenag harus berkoordinasi dengan Kemenkominfo dan menjalin kemitraan dengan para ahli dari sektor swasta.
Sektor swasta telah terlibat dalam seminar publik dan talkshow melalui program Siberkreasi. Tetapi tidak dalam penyempurnaan kurikulum sekolah. Tenaga ahli eksternal ini dapat membantu pemerintah merumuskan indikator yang relevan untuk kurikulum literasi digital.
Terakhir, peningkatan akses dan teknologi Internet, terutama di daerah pedesaan di Indonesia, harus tetap menjadi prioritas pemerintah untuk mengatasi kesenjangan digital dan membuka peluang bagi keluarga yang kurang beruntung.
“Kemenkominfo berencana untuk melengkapi sekitar 12.000 desa dengan akses Internet. Keterlibatan swasta yang selama ini dipertimbangkan harus didorong. Kemendikbud dan Kemenag juga harus bekerja sama dengan sektor swasta untuk melengkapi sekolah, terutama di pedesaan, dengan laptop/komputer,” tutupnya.