Savitri. Sayangnya, tak banyak perempuan mengepalai dewan kesenian di daerah. /Teater Koma
Entertainment

Pemimpin Perempuan di Dewan Kesenian Masih Minim

Janlika Putri Indah Sari
Selasa, 20 April 2021 - 12:52
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Setiap 21 April selalu diperingati sebagai perjuangan R.A. Kartini dalam emansipasi wanita. Hingga saat ini, keberadaan perempuan di posisi pengambil keputusan dalam tata kelembagaan masih minim, termasuk dewan kesenian daerah.

Padahal, emansipasi perempuan merupakan salah satu amanat pembentukan Dewan Kesenian yang dilahirkan pada 1993. Berdasarkan data Koalisi Seni, dari 61 dewan kesenian di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, hanya 4 dewan kesenian (6,55 persen) di antaranya yang diketuai perempuan.

Keempatnya adalah Dewan Kesenian Tanah Papua Kabupaten Jayapura, Dewan Kesenian Kabupaten Pesisir Barat, Dewan Kesenian Kota Lubuklinggau, dan Dewan Kesenian Provinsi Sulawesi Utara. Namun, para perempuan ketua di dewan kesenian daerah itu tidak memiliki latar belakang sebagai seniman maupun pengalaman kerja dalam lingkup kebijakan seni budaya.

Keempatnya adalah istri kepala daerah setempat serta kerap bergelut pada isu pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga.

Rahma Safira S., Peneliti Kebijakan Koalisi Seni, mengungkapkan keberadaan perempuan dalam kepemimpinan Dewan Kesenian daerah sangatlah penting. Sebab, kepemimpinan perempuan dapat mendorong program-program yang lebih berpihak pada seniman perempuan dan lebih responsif merespon permasalahan yang dihadapi perempuan.

"Maka, penting bagi Dewan Kesenian untuk mendorong dan mendukung keterlibatan perempuan secara aktif, terutama dalam level pengambil keputusan,” kata Rahma dalam keterangan resmi yang di terima Bisnis, Selasa (20/4/2021). dari

Sebagai negara dengan seni dan budaya yang beragam, Indonesia memerlukan lembaga mitra pemerintah untuk mendorong pertumbuhan potensi dan jati diri seni dan budaya di lingkungannya. Dewan Kesenian daerah memenuhi kebutuhan tersebut.

Dewan Kesenian pertama di Indonesia adalah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang dibentuk seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 7 Juni 1968. Berdirinya DKJ kemudian memicu dan mengawali pendirian berbagai dewan kesenian di daerah-daerah lain.

Posisi strategis dewan kesenian daerah sebagai mitra pemerintah yang tersebar secara luas dan sistematis di seluruh penjuru Nusantara membuat lembaga tersebut dipandang sebagai penjaga gerbang keberlangsungan seni dan budaya di daerahnya.

“Sayangnya, tak banyak perempuan mengepalai dewan kesenian di daerah. Kita tahu, seniman perempuan sesungguhnya berada dalam posisi rentan. Sebab, bukan saja profesi ini tak mudah menyejahterakan secara finansial, tetapi perempuan punya ruang gerak sempit untuk menempati posisi strategis dalam tata kelola seni,” tambah Rahma.

Menurutnya, kondisi tersebut lantaran kentalnya budaya patriarki di Indonesia yang menuntut perempuan menjadi pengikut dan menormalisasi figur laki-laki sebagai pemimpin. Perempuan pun kerap dituntut menjadi pengurus hal domestik yang bergulat dengan sumur, dapur, dan kasur.

Pandangan ini juga sering diterjemahkan secara paralel dalam tata kelola seni, dengan menempatkan perempuan pada posisi dapur lembaga seperti sekretaris dan bendahara.

Hal yang sama juga ditemukan pada organisasi seni secara umum. Perempuan lebih banyak diberi porsi di belakang layar, ketimbang laki-laki yang terlibat dan terlihat di garda depan.

“Secara khusus, tuntutan tinggi atas pejabat ketua dewan kesenian daerah menjadi faktor utama minimnya figur perempuan pada posisi ini. Pengemban posisi ini dituntut punya lebih dari pengetahuan dan pengalaman berkecimpung dalam dunia kesenian, tetapi juga pengetahuan hukum, politik, dan kebijakan publik. Ini hal yang tidak selalu dimiliki seniman,” pungkas Rahma.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro