Bisnis.com, JAKARTA — Ivermectin belakangan menjadi obat yang disorot di Indonesia, bahkan dunia. Pasalnya muncul beberapa kesaksian dari orang-orang yang berhasil lolos dari gejala Covid-19.
Namun, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) bergeming. BPOM mengikuti panduan WHO untuk tidak merekomendasikan ivermectin untuk mengobati Covid-19 di luar uji klinis.
BPOM bahkan mengambil langkah tegas dengan mendatangi dan memberikan sanksi kepada pabrik PT Hansen Laboratories, produsen obat ivermectin dengan merek dagang Ivermex 12 mg, karena dianggap tidak kooperatif.
Mengutip Tempo, Minggu (4/7/2021), banyak kalangan mendesak penggunaan obat antiparasit yang generik, ivermectin, secara luas sebagai obat Covid-19. Mereka menilai obat ini memiliki khasiatnya melindungi hewan dari parasit cacing, obat ini juga sudah digunakan manusia selama bertahun-tahun dalam bentuk pil dan krim untuk keluhan seperti scabies (penyakit kulit karena tungau), kutu di kepala, dan river blindnessatau kebutaan karena infeksi cacing.
Ivermectin sudah sejak lama disanjung sebagai obat ajaib dan penemunya William C. Campbell dan Satoshi mura sampai dianugerahi Hadiah Nobel Kedokteran pada 2015 karena multikhasiat obatnya itu. Kini, bermunculan kesaksian mereka yang berhasil lolos dari dari gejala infeksi virus corona SARS-CoV-2 berkat obat yang sama.
Lantas mengapa BPOM di Indonesia, dan juga otoritas kesehatan di sejumlah negara seperti FDA di Amerika Serikat dan EMA di Uni Eropa, bersikukuh 'melawan arus' yang menghendaki pengobatan Covid-19 dengan ivermectin? Ada apa di balik sikap mereka yang tidak merekomendasikan ivermectin untuk pasien Covid-19 saat ini?
Berikut ini penjelasannya yang sebagian mengambil penuturan dari Carlos Chaccour, peneliti ivermectin dari Barcelona Institute for Global Health. Dia termasuk di antara peneliti pertama yang mengangkat perhatian tentang penggunaan ivermectin sebagai obat Covid-19. Chaccour mulai meneliti ivermectin tentang kemampuan obat itu dalam membunuh vektor malaria pada 2007.
- Maret 2020
Sebuah studi in vitro (sebatas di laboratorium) dari tim ilmuwan di Australia mengindikasikan bahwa ivermectin mampu menghambat virus Corona. Namun ada satu problem besar dari studi ini, yakni para peneliti menggunakan konsentrasi zat aktif ivermectin yang 'sangat besar' yang tidak alami dalam sel tubuh manusia. Studi itu juga diketahui menggunakan data dari Surgisphere--kelompok penyedia data yang pernah menyebabkan publikasi hasil studi hydroxychloroquine sebagai obat Covid-19 dicabut kembali dari Jurnal The Lancet. Studi dari Monash University dan Royal Melbourne Hospital, Australia, itu sendiri hanya sampai tahap pre-print sehingga, sekalipun sejumlah akademisi bertanya tentang validitas studi, hasilnya memang tidak pernah secara resmi diakui oleh jurnal terkenal.
- Januari 2021
Sebuah makalah, yang juga pre-print atau belum dimuat dalam jurnal yang mensyaratkan kajian peer review, yang disusun tim ilmuwan dunia termasuk Chaccour muncul. Menganalisis 18 uji klinis yang terpisah-pisah yang seluruhnya melibatkan 2.282 pasien, isi makalah itu menyebut ivermectin mungkin memiliki dampak dramatis untuk menyelamatkan nyawa pasien Covid-19, menghindarkannya dari kematian. Obat cacing murah itu mampu mengurangi angka kematian sampai 75 persen. Namun hasil itu datang bersama sebuah peringatan besar: hasil analisis metadata menunjukkan kalau khasiat obat ini butuh divalidasi dalam uji acak terkendali berskala lebih besar sebelum hasilnya berkecukupan untuk mendapat perhatian dari otoritas kesehatan.
- 2 Maret 2021
Jurnal Frontiers in Pharmacology batal bersedia memuat sebuah artikel dari kelompok Front Line Covid-19 Critical Care Alliance. Jurnal itu memberikan catatan kalau artikel tersebut membuat serangkaian klaim berdasarkan studi-studi yang tak didukung data statistik yang kuat, dan berkali-kali, tanpa melibatkan kelompok-kelompok kontrol. Frontiers juga menyebut para penulis artikel telah mendorong pengobatan menggunakan ivermectin model mereka sendiri yang menurut jurnal itu 'tak pantas' untuk sebuah artikel kajian dan berlawanan dengan sikap editorial jurnal itu.
“Dalam pandangan kami, makalah ini tidak menawarkan sebuah kontribusi ilmiah yang obyektif maupun berimbang terhadap evaluasi ivermectin sebagai sebuah obat potensial untuk Covid-19," tulis Frederick Fenter, Chief Executive Editor di Frontiers dalam media statement yang diunggah di blog jurnal itu 2 Maret 2021.
Pierre Kory, dokter dari Amerika Serikat, termasuk penulis artikel itu, menyebut apa yang dilakukan Frontiers adalah bentuk sensor. Kory bahkan menuding jurnal itu membiarkan, "beberapa peer reviewer eksternal berkomentar di makalah kami." Kory terkenal setelah video kesaksiannya tentang ivermectin diblok di platform media sosial Youtube dan Facebook karena dianggap hoaks. Isi videonya membuat publik langsung bertanya-tanya: Kenapa pemerintah membiarkan kita mati kalau ternyata ada obat penyelamat di luar sana? Kenapa Big Pharma, perusahaan farmasi besar, memaksakan obat-obatan dari mereka saja?
- 5 dan 22 Maret 2021
Pada saat itu juga FDA dan EMA memperingatkan belum ada bukti cukup untuk menggunakan ivermectin untuk mengobati ataupun pencegahan Covid-19. EMA memberi catatan dalam pernyataannya yang dikeluarkan pada 22 Maret bahwa studi laboratorium yang menunjukkan harapan untuk ivermectin berbasis pada penggunaan dosis yang lebih tinggi daripada ambang baku yang diizinkan saat ini, dan hasil studi klinisnya juga masih sangat bervariasi. "Studi acak yang didesain lebih baik lagi dibutuhkan untuk menarik kesimpulan apakah produk ini benar efektif dan aman dalam pencegahan dan pengobatan Covid-19," bunyi pernyataan EMA.
Pada 5 Maret, FDA telah lebih dulu memperingatkan bahwa penggunaan overdosis ivermectin bisa menyebabkan kematian. FDA juga mencatat sejumlah laporan pasien yang harus dirawat di rumah sakit setelah melakukan pengobatan sendiri menggunakan ivermectin untuk kuda.
Adapun risiko dari keracunan ivermectin adalah darah yang menjadi encer. Penggunaan yang overdosis juga bisa menyebabkan nyeri, mual, diare, hipotensi (tekanan darah rendah), reaski-reaksi alergik, pusing, ataxia (masalah dengan keseimbangan), kejang, koma dan bahkan meninggal.