Dexamethasone/Antara-Reuters-Yves Herman
Health

Perjalanan Obat Terapi Covid-19 di Indonesia, dari Deksametason hingga Ivermectin

Janlika Putri Indah Sari
Rabu, 28 Juli 2021 - 12:31
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Hampir dua tahun sudah sejak kasus covid-19 pertama dideteksi di Indonesia 2 Maret 2020 lalu.

Hingga kini, masih belum juga ditemukan obat yang paling cocok untuk pengobatannya. Setidaknya, 3 perusahaan kini sedang mencoba mengembangkan obat covid-19. Mereka adalah Pfizer, Merck dan terakhir perusahaan asal Jepang Shionogi & Co.

Karena obat khusus covid-19 belum ada, trial pun dilakukan termasuk di Indonesia. Beberapa masih dipakai sampai sekarang, beberapa lainnya ditinggalkan.

Kebanyakan, obat yang digunakan adalah obat yang sudah beredar di pasaran dan digunakan untuk menyembuhkan gejala yang disebabkan covid-19. Mulai dari obat yang paling pasaran seperti parasetamol untuk mengobati demam, obat batuk, hingga obat peradangan dengan kandungan deksametason.

Termasuk untuk antivirus, juga digunakan yang tersedia. Semisal Favipiravir, Oseltamivir yang juga umum dipakai untuk pengobatan jenis virus lainnya di luar corona.

Pro kontra pemakaian obat pun bermunculan dari efektivitas obat hingga efek samping yang bisa ditimbulkan jika terapi menggunakan obat untuk jenis penyakit lain.

Di Indonesia, beragam obat terapi covid-19 sudah mulai diterapkan sejak pandemi ini terjadi pada 2020 lalu.

Baru-baru ini Ivermectin yang menjadi sorotan pemakaiannya di Indonesia. Untuk mendukung penelitian apakah obat yang sebenarnya diperuntukkan bagi obat cacing itu bisa menyembuhkan covid, adan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan uji klinis yang melibatkan 8 rumah sakit.

Jauh sebelum Ivermectin di klaim sebagai obat terapi Covid-19, ada beberapa jenis obat lain yang pernah di klaim dapat menyembuhkan pasien Covid-19 di Indonesia dan juga menuai pro kontra berikut daftarnya :

1. Dexamethaxone

Pada awal virus Covid-19 mencuat, Dexamethasone dipercaya dapat menyembuhkan pasien yang terjangkit virus berhaya ini.

Pada bulan Juli 2020, kabar khasiat Dexamethaxone meramaikan dunia termasuk Indonesia.

Dexamethasone sendiri adalah obat untuk mengatasi peradangan, reaksi alergi dan penyakit autoimun. Obat ini masuk dalam golongan obat kortikosteroid keras sehingga hanya boleh dikonsumsi setelah mendapat persetujuan dari dokter.

Organisasi kesehatan dunia yaitu WHO pernah melakukan penelitian akan efektifitas obat tersebut.

Dilansir dari laman resminya WHO, Senin (26/7/2021). Obat itu diuji pada pasien rawat inap dengan Covid-19 dalam uji klinis nasional Inggris untuk pemulihan. Dan ditemukan jika obat itu memiliki manfaat untuk pasien sakit kritis.

Menurut temuan awal yang dibagikan dengan WHO, untuk pasien yang menggunakan ventilator, pengobatan terbukti mengurangi kematian sekitar sepertiga, dan untuk pasien yang hanya membutuhkan oksigen, angka kematian berkurang sekitar seperlima.

Pada 2 September 2020, WHO mengeluarkan pedoman sementara penggunaan deksametason dan kortikosteroid lainnya untuk pengobatan Covid-19. Pedoman tersebut dikembangkan oleh panel WHO dan para ahli serta peneliti internasional dan didasarkan pada bukti yang dikumpulkan dari tujuh uji klinis.

Pedoman tersebut terbagi atas dua rekomendasi. Pertama, WHO sangat menganjurkan agar kortikosteroid yaitu deksametason, hidrokortison atau prednison diberikan secara oral atau intravena untuk pengobatan pasien dengan Covid-19 yang parah dan kritis.

Kedua, WHO menyarankan agar penggunaan kortikosteroid tidak digunakan dalam pengobatan pasien dengan Covid-19 yang tidak parah, kecuali jika pasien tersebut sudah menggunakan obat ini untuk kondisi lain.

Waktu dan durasi pengobatan harus sekali sehari selama 7-10 hari. Dosis harian harus 6 mg deksametason, setara dengan 160 mg hidrokortison yaitu 50 mg setiap 8 jam atau 100 mg setiap 12 jam, 40 mg prednison, 32 mg metilprednisolon yaitu 8 mg setiap 6 jam.

Panel ahli membuat rekomendasi berdasarkan bukti kepastian moderat penurunan kematian 8,7% dan 6,7% pada pasien dengan Covid-19 yang sakit kritis atau parah.

Jadi, dari penelitian tersebut menyimpulkan jika obat ini hanya untuk pasein Covid-19 gejala berat saja.

2. Hydroxychloroquine

WHO melakukan penelitian hidroksiklorokuin atau Chloroquine untuk obat Covid-19 pada kondisi darurat pada awal pandemi berlangsung.

Hydroxychloroquine sendiri adalah obat untuk mencegah dan mengobati penyakit malaria. Selain itu, obat ini memiliki efek anti radang dan bias menekan respon sistem imun sehingga dapat meredakan gejala lupus atau rheumatoid arthritis.

Namun, pada pertengahan 2020, WHO resmi menghentikan uji coba hydroxychloroquine
dilansir dari statnews, Senin (26/7/2021) Perwakilan Program Kesehatan Darurat WHO, Ana Maria Henao Restrepo, mengatakan bahwa keputusan ini diambil setelah hasil uji coba menunjukkan jika obat tersebut tidak manjur. Hydroxychloroquine tak mengurangi tingkat kematian pasien Covid-19.

"Setelah berbagai pertimbangan, maka dibuat keputusan untuk menghentikan program uji coba hydroxychloroquine," ujar Restrepo.

3. Remdesivir

Pada awal Oktober 2020, BPOM telah menyetujui penggunaan remdesivir untuk menangani Covid-19 di Indonesia.

Namun pada pertengahan Oktober 2020 hasil uji coba menyatakan jika obat remdesivir tidak efektif pada pasien Covid-19.

4. Favirapir

Pada Oktober 2020, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny Lukito mengizinkan penggunaan obat favipiravir sebagai pengobatan pasien Covid-19.

Kini BPOM telah memberikan favipiravir persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat kesehatan atau emergency use authorization (EUA).

Penggunaan favipiravir di Indonesia sudah diberikan sejak 3 September 2020.

5. Molnupiravir

Obat antiviral atu molnupiravir juga disebut ampuh menyembuhkan infeksi virus SARS-CoV-2. Namun saat ini obat tersebut masih dalam penelitian.

Dilansir dari Bisnis.com, Senin (26/7/2021) pengobatan yang memungkinkan penanganan pasien positif virus corona baru terus dikembangkan. Setelah vaksin suntikan, ilmuwan mengembangkan pengobatan pil Covid-19 yang menunjukkan hasil positif.

Pengujian tahap pertama dari pil Covid-19 eksperimental yang disebut Molnupiravir menunjukkan tanda keefektifan yang menjanjikan dalam mengurangi virus pada pasien. Molnupiravir dikembangkan oleh Merck dan Ridgeback Biotherapeutics.

Obat tersebut akan berfungsi sebagai pengobatan di rumah selama 5 hari, untuk menghentikan virus berkembang biak sebelum menyebabkan kerusakan besar.

5 organisasi profesi dokter juga memberikan rekomendasi obat terapi tambahan. Ada lima belas obat yang direkomendasikan untuk pasien covid-19 gejala berat.

Dilansir dari bisnis.com, Senin (26/7/2021) Berikut 15 obat terapi tambahan untuk pasien Covid-19 :

1. Oseltamivir

Oseltamivir adalah obat antiviral untuk pengobatan dan pencegahan influenza tipe A dan B. Obat ini bekerja dalam menghambat neuroamidase, yakni dibutuhkan oleh virus influenza untuk merilis virus-virus baru di akhir proses replikasi. Oseltamivir dapat ditambahkan pada pasien yang diduga terinfeksi virus influenza dengan dosis 2 x 75 mg.

2. Antibiotik

WHO menganjurkan untuk memberikan antibiotik rutin pada kasus Covid-19 yang berat, dan tidak dianjurkan bagi yang mengalami gejala ringan.

3. Antibodi monoklonal

Antibodi monoklonal adalah protein yang dibuat di laboratorium dan memiliki kemampuan untuk meniru kerja sistem imun dalam melawan antigen berbahaya seperti virus. Penggunaan antibodi monoklonal umumnya ada Covid-19 derajat ringan sampai sedang.

4. Janus Kinase Inhibitor

Inhibitor janus kinase (JAK) yaitu baricitinib secara teori memiliki aktivitas antivirus secara langsung dengan cara melakukan intervensi endositosis virus, secara potensial mencegah masuknya dan terinfeksinya sel-sel yang rentan.

5. Mesenchymal Stem Cell (MSCs)/

Sel Punca MSCs bekerja sebagai imunoregulasi dengan nekan profilerasi sel T. Selain itu sel punca dapat berinteraksi dengan sel-sel dendritik sehingga menyebabkan pergeseran sel Th-2 proinflamasi menjadi Th anti-inflamasi, termasuk perubahan profil stikoin menuju anti-inflamasi.

6. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Terapi IVIG dapat menjadi satu alternatif pilihan terapi, terutama pada kasus Covid-19 yang berat. Belum ada penelitian yang banyak untuk IVIG dan tampaknya dapat memberikan hasil yang menjanjikan. Pemberian IVIG tampaknya memberi manfaat paling besar bila diberikan segera ketika pasien menuju pada perburukan. Dosis IVIG yang digunakan pada berbagai studi ini sangat beragam, tapi sebagian besar studi ini menggunakan IVIG dosis besar yaitu sekitar 0,3-0,5 gram/kgBB/hari selama 3 atau 5 hari berturut-turut.

7. Terapi Plasma Konvalesen

Indikasi pemberian terapi plasma konvalesen (TPK) pada berbagai uji klinis adalah penderita Covid-19 yang berat, tetapi saat ini uji klinis pemberian pada pasien Covid-19 sedang atau berisiko menjadi berat sudah atau sedang berjalan di beberapa senter uji klinis di seluruh dunia.

8. Ivermectin

Ivermectin di Indonesia terdaftar sebagai obat untuk infeksi kecacingan. Menurut penelitian secara in vitro yang telah dipublikasikan, Ivermectin memiliki potensi antiviral. Namun, sebagian besar uji klinik menunjukkan hasil yang tidak konsisten mengenai manfaat Ivermectin untuk pasien Covid-19.

9. N-Asetilsistein

Berbagai penelitian sebelumnya, data awal penelitian terhadap Covid-19 dan ulasan patofisiologis mengarahkan bahwa sifat antioksidan N-asetilsistein dapat bermanfaat sebagai terapi dan atau pencegahan Covid-19. Uji klinis NAC pada Covid-19 masih sangat terbatas. Dosis yang digunakan adalah di atas atau sama dengan 1200 mg per hari oral ataupun intravena, terbagi 2-3 kali pemberian.

10. Kolkisin

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian kolkisin dapat menurunkan kebutuhan penggunaan oksigen, menurunkan lama rawat, dan menurunkan CRP.

11. Spironolakton

Spironolakton dihipotesiskan mampu memitigasi abnormalitas ekspresi ACE-2, memperbaiki keseimbangan ACE-2 yang tersirkulasi dan terikat pada membrane, menghambat aktivitas TMPRSS2 yang termediasi androgen, dan memperbaiki disfungsi RAAS yang berpotensi mengurangi pematangan virus.

14. Therapeutic

Plasma Exchange (TPE) Secara pathogenesis Tindakan TPE pada pasien Covid-19 sebagai terapi tambahan dapat dipertimbangkan untuk dapat mengurangi sitokin juga mediator inflamasi lainnya, hanya saja sampai saat ini hanya ada beberapa laporan kasus dan belum ada penelitian lebih luas terkait hal ini. Atas dasar hal tersebut TPE harus dipertimbangkan dengan seksama sebelum menerapkannya pada pasien Covid-19.

15. Vaksinasi

Vaksinasi merupakan salah satu cara paling efektif dalam mencegah penyakit akibat infeksi virus seperti Covid-19. Saat ini sudah ada 7 vaksin yang telah melewati uji klinis dan disebarluaskan ke masyarakat di antaranya vaksin produksi Pfizer/BioNTech, Moderna, AstraZeneca/Oxford, Sinovac Biotech, Gamaleya, CanSino Biologics, dan Sinopharm

Lalu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga resmi mengeluarkan surat keputusan yang mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) obat yang digunakan selama pandemi Covid-19. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Menkes nomor HK.1.7/Menkes/4826/2021 yang mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) obat dalam masa pandemi Covid-19. Dalam kebijakan itu memuat 11 obat yang sudah diatur dalam daftar harga eceran obat Covid-19.

Melansir dari Instagram resmi @indonesiabaik.id, Senin (26/7/2021), berikut daftar harga eceran obat Covid-19:

1. Favipiravir 200 mg tablet, Rp22,500 2. Remdesivir 100 mg injeksi, Rp510.000
3. Oseltamivir 75 mg, Rp26.500
4. Intravenous Immunoglobulin 5 persen 50 ml infus, Rp3,26 juta
5. Intravenous Immunoglobulin 10 persen 25 ml infus, Rp3,96 juta
6. Intravenous Immunoglobulin 10 persen 50 ml infus, Rp6,17 juta
7. Ivermectin 12 mg tablet, Rp7.500
8. Tocilizumab 400 mg/20 ml infus, Rp5,71 juta
9. Tocilizumab 80 mg/4 ml infus, Rp1,16 juta
10. Azithromycin 500 mg tablet, Rp1.700
11. Azithromycin 500 mg infus, Rp95.400

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro