Bisnis.com, SOLO - Meski keberadaannya cukup kontroversial, film G30S/PKI nyatanya pernah mendapat Piala Antemas (Penghargaan Khusus) sebagai Film Unggulan Terlaris periode 1984-1985 pada Festival Film Indonesia 1985.
Seperti yang diketahui, film yang disutradarai dan ditulis oleh Arifin C. Noer tersebut digunakan sebagai alat propaganda oleh pemerintah Orde Baru selama lebih kurang tiga belas tahun. Di bawah kepemimpinan Soeharto, TVRI yang kala itu menjadi satu-satunya stasiun televisi di Indonesia diperintah untuk menayangkan film ini setiap tahun pada tanggal 30 September malam.
Secara garis besar, film yang dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa ini bercerita tentang rencana kudeta dan penculikan tujuh jenderal TNI Angkatan darat oleh Komandan Batalyon Cakrabirawa, Kolonel Untung.
Namun demikian, film ini berfokus pada peristiwa penculikan Brigadir Jenderal Donald Isaac (DI) Pandjaitan.
Dikisahkan, pada 30 September 1965, sekelompok tentara mengepung rumah DI Pandjaitan di Jalan Hasanuddin 53, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sementara itu, DI Pandjaitan yang kala itu sedang berada di kamar di lantai 2 terlihat biasa saja. Sembari berkaca, ia pun merapikan seragamnya agar tidak terlihat kusut.
Di sisi lain, tentara pun mulai masuk dan menguasai lantai satu huniannya. Mereka bahkan melepaskan beberapa tembakan dan menjadikan beberapa perabot rumah sebagai sasaran.
Tiba-tiba, seorang asisten rumah tangga berkata bahwa dua keponakan DI Pandjaitan yang berada di lantai satu, Albert dan Viktor, terkena tembakan.
Akhirnya, dengan tenang, DI Pandjaitan pun menghampiri para tentara. Ia lalu diminta untuk segera naik ke truk yang akan mengantarkannya ke Istana dengan alasan telah ditunggu oleh Presiden Soekarno.
Namun, DI Panjaitan menyempatkan diri untuk berdoa terlebih dahulu. Sayangnya, lantaran tak sabar, seorang tentara lalu memukulkan popor senjata.
Dengan refleks, DI Panjaitan pun menepis senjata tersebut sebelum menghantam wajahnya. Seorang tentara lain pun makin berang melihat hal tersebut.
DI Panjaitan akhirnya ditembak dan tewas di tempat. Jenazahnya kemudian dimasukkan dalam truk dan dibawa pergi.
Sementara itu, putri sulungnya, Catherine, yang menyaksikan penembakan tersebut langsung mendatangi tempat sang ayah ditembak usai para tentara pergi. Dengan pilu, ia pun mengusapkan darah ayahnya ke wajahnya.