Bisnis.com.com, JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenppa) mengungkap, pada tahun 2021 tercatat ada kasus kekerasan pada anak 11.952 kasus.
Dimana, 7.004 diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.
Data dari Kemenppa juga menyebutkan sebanyak 8.478 kasus kekerasan pada perempuan terjadi pada tahun 2021, dimana 1.272 diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.
Namun, Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) dr. Baety Adhayati angka yang dirilis oleh Kemenppa tersebut bukanlah data yang sesungguhnya, karena masih banyak kasus yang tidak terdata, karena tidak ada laporan.
“Kita harus memahami bahwa data yang tersaji ini adalah puncaknya saja jadi fenomena gunung es masih banyak kasus-kasus lain yang belum terdata karena banyak kendala, misalnya tidak mau lapor, tidak tahu lapor kemana, atau infrastruktur yang terbatas” ungkap dr. Baety dalam media briefing Jumat (28/10/2022).
dr. Baety juga memaparkan ada beberapa alasan mengapa korban kekerasan tidak melapor.
Pertama, ancaman menjadi hal yang sering dijadikan alasan mengapa korban tidak mau melaporkan kasus yang dialaminya.
“Biasanya karena diancam, misalnya disebarkan videonya, dibunuh atau nanti diancam orang tuanya yang akan dibunuh, sehingga akhirnya korban nggak mau lapor” papar dr. Baety.
Kedua, masih ada hubungan dekat dengan korban ataupun keluarga korban biasanya juga menjadi alasan korban enggan untuk melaporkan kasus tersebut.
Beberapa waktu lalu, di sebuah institusi pendidikan agama, terbongkar kasus pelecehan seksual yang melibatkan pemilik institusi tersebut dengan murid atau anak didiknya. dr. Baety menyebut, hal tersebut merupakan salah satu contoh dari kasus yang pelaku dan korbannya memiliki relasi kuasa.
Stigma-stigma yang lazim di masyarakat
Menurut dr Baety keengganan lainnya juga karena adanya stigma di masyarakat.
Menurutnya, masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa seseorang yang telah terenggut keperawanannya berarti tidak punyai masa depan yang baik. dr. Baety mengungkap, stigma ini juga berlaku korban kekerasan seksual.
dr. Baety sangat menyayangkan masyarakat yang justru memikirkan stigma soal keperawanan, padahal kondisi psikologis korban jauh lebih penting, menurutnya. Karena hal ini bisa berdampak hingga korban memutuskan untuk putus sekolah.
Alih-alih melaporkan kasus, dr. Baety menyebut, korban yang hamil akibat kasus kekerasan seksual biasanya justru akan diisolasi oleh keluarga, hingga korban melahirkan, karena malu.
Salah satu hambatan tidak terlaporkannya kasus kekerasan seksual juga karena ketidaktahuan korban terhadap apa yang dialami. dr. Baety menuturkan, biasanya hal ini terjadi pada balita, atau anak awal masa sekolah, juga biasanya tidak bisa menjelaskan kronologi kejadian tersebut.
“Ada yang tidak memahami bahwa yang dialami adalah suatu tindak kejahatan, ini biasanya dialami oleh anak umur 3 tahun, belum usia sekolah atau awal masa usia sekolah,” tutur dr. Baety.
Alasan lainnya, juga korban yang merasa tidak mendapatkan kasih sayang di rumah lalu mendapatkannya dari pelaku, bahkan biasanya mendapatkan perlakuan tersebut tidak atas paksaan. Ini kemudian menjadi kasus yang tidak terlaporkan juga, dikarenakan adanya hubungan kasih sayang antara korban dan pelaku.
Hal lainnya adalah karena urusan asmara dan korban hamil, sehingga akhirnya dinikahkan, bahkan tak jarang dia dinikahkan dengan si pelaku.