Bisnis.com, JAKARTA - Ilmuwan asal Malang, Novalia Pishesha sukses temukan kandidat vaksin Covid-19 dan kini tengah jadi sorotan.
Setelah berhasil menemukan kandidat baru vaksin Covid-19 yang cocok dengan teknologi di Indonesia pada November 2021 lalu, kini dia pun mendirikan sebuah perusahaan lanjutan bernama Cerberus Therapeutics, yang berfokus pada rekayasa sistem kekebalan.
Bersama kedua rekannya, Hidde Ploegh dan Harvey Lodish, mereka menghabiskan puluhan tahun atas sebuah penemuan biologis baru soal gangguan autoimun dan penyakit menular.
“Pandemi Covid-19 menyoroti perlunya terapi yang aman dan mudah diakses untuk merekayasa respons imun kita. Kami telah mengembangkan strategi yang memungkinkan pengaktifan/penonaktifan sistem kekebalan secara tepat untuk merekayasa respons kekebalan mereka sesuai penyakit,” tulis tim dilansir dari situs Cerberus Therapeutics, Senin (30/1/2023).
Lantas, seperti apa sosok dan perjalanan dari Novalia Pishesha yang ternyata berasal dari kota kecil di Malang hingga bisa mengawinkan sains dengan bisnis? Berikut ulasan Bisnis selengkapnya.
Berasal dari Malang
Novalia Pishesha menceritakan bahwa sedari kecil hingga SMA dirinya menghabiskan waktu di Malang Jawa Timur. Sejak dulu, dirinya memang memiliki ketertarikan di sains dan bercita-cita ingin menekuni sebuah profesi yang memiliki interdisiplin ilmu untuk fokus mencari solusi dari sekian banyaknya masalah yang menjangkiti kesehatan manusia.
Pasalnya, dia melihat banyak penderita yang mengakami penyakit seperti lupus, diabetes tipe 1, namun di Indonesia sendiri belum ada obatnya.
“Di Indonesia banyak penyakit yang enggak ada obatnya, misal penyakit infeksi, vaksin juga jarang. Terus dari kecil suka belajar biologi, jadi saya pikir ‘pekerjaan apa sih yang bisa dikerjakan menggunakan ini?’” ungkapnya dilansir dari Kanal Youtube Gita Wirjawan, Senin (30/1/2023).
Dirinya mengaku, awal dia merasa ingin menjadi dokter. Namun, ternyata setelah dia menelusuri lebih lanjut, nyatanya profesi bio-engineer atau bioteknologis lebih cocok dengan minatnya.
“Dulu kepikiran dokter karena bisa mengobati orang, tapi bio-engineer lebih punya peran karena profesi tersebut fokus ke riset dan riset untuk penelitian terapi terbaru,” ujar lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu.
Perjalanan Pendidikan Novalia Pishesha
Sayangnya, saat itu jurusan bioengineering belum tersedia di universitas tanah air. Bahkan, dirinya menyebutkan di Amerika pun belum banyak program studi seperti itu. Alhasil, dirinya memutuskan untuk mengomunikasikan ke kedua orang tuanya.
“Papa mama saya awalnya nggak mau saya itu pergi jauh-jauh atau sekolah tinggi-tinggi. Tapi, karena punya paman yang tinggal di San Francisco, jadi saya dibolehkan tapi hanya boleh ke sana doang,” kenangnya.
Sampai di sana pun, perjalanan Novalia untuk bisa mengenyam pendidikan sangatlah sulit, mengingat kala itu dia tidak pandai berbahasa Inggris dan orang tuanya juga tidak bisa membiayai.
“Saya dulu enggak tahu kalau ada tes SAR, bahkan waktu itu, saya pilih program paling murah, yaitu community college di City College of San Francisco. Saya pikir di sana saya cukup beruntung, karena bisa kerja dan cukup untuk membiayai hidup dan uang sekolah,” ujarnya.
Akan tetapi, berbekal tekad yang kuat untuk bisa menggapai cita-citanya, menjadikan dirinya berhasil mendapat tawaran pendidikan ke tiga univesitas sekaligus, yaitu University of California, Berkeley University California LA dan San Diego. Hingga akhirnya, Novalia pun memilih dan lulus dari University of California, Berkeley dengan fasilitas beasiswa penuh.
Mengalami Impostor Syndrome
Usai mendapat gelar sarjana di bioengineering, sang pembimbing akademik pun terkesan atas capaian akademiknya, sehingga memberikan saran untuk Novalia melanjutkan S3 dengan jurusan yang sama di University of California, Berkeley.
Sayangnya, karena kurangnya biaya, Novalia sempat mengalami impostor syndrome, sebuah perasaan tidak nyaman yang seseorang alami ketika dirinya merasa tidak memenuhi syarat dan tidak kompeten.
Namun, perasaan tersebut tidak berlangsung lama. Sebagai sosok perempuan yang punya daya juang tinggi, dia pun mempersiapkan segalanya dengan matang. Alhasil, banyak kabar baik berdatangan, di mana dirinya mendapat beasiswa mulai dari Stanford hingga MIT.
Lalu, dengan segala pertimbangan, Novalia pun memilih Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 2011.
“Saya apply beasiswa di banyak Universitas, salah satunya keterima di MIT. Lalu, kata dosen pembimbing saya di Berkeley, untuk bisa mendapatkan lebih banyak koneksi, saya disarankan untuk ke sini,” katanya.
Adapun perjalanan penelitiannya hingga menjadi paten, di mulai dengan dirinya mengikuti proyek sang mentor, soal teknik pengembangan untuk memodifikasi sel darah merah agar punya jumlah yang besar dan kualitas yang bagus.
Setelah lulus S3 dengan riwayat pendidikan yang mengesankan, dia pun mendapat tawaran pencalonan dari sang mentor sebagai First Harvard Junior Fellow. Lagi-lagi atas hasil ketekunannya, membuat dia berhasil meraih pencapaian tersebut.
Kini, Nova tengah mengenyam pendidikan di Harvard yang terhitung sudah 4 tahun sembari menjadi Instruktur di Rumah Sakit Anak Boston.
Dirinya juga sambil menjadi studi dalam program Postdoctoral Fellow Bhatia Lab di MIT Koch Institute for Integrative Cancer Research dan merintis perusahaan Cerberus Therapeutics yang bergerak dalam bidang bioteknologi.