Vaginismus diartikan sebagai kondisi otot-otot sekitar vagina mengencang sehingga penetrasi sangat menyakitkan, bahkan tidak mungkin terjadi.
“Saya mengalami situasi kesakitan saat berhubungan seksual. Awalnya saya tidak tahu kondisi seperti itu disebut vaginismus,” kata seorang perempuan yang keberatan namanya disebutkan, membuka percakapan. Sebut saja namanya Inge.
Dia perempuan berusia 33 tahun yang bermukim dan bekerja di Yogyakarta. Kisahnya berawal saat Inge memutuskan bercerai dari suaminya.
Awalnya, Inge dan mantan suami dahulu tidak ingin rumah tangganya kandas. Maka, mulailah mereka berusaha membangun hidup bersama pada 2008. Ketika hubungan seksual pertama dimulai, Inge tidak bisa menikmatinya. Kala foreplay berlangsung, dia sudah merasa tidak nyaman. Apalagi, saat penetrasi Inge merasa vaginanya begitu sakit.
“Kali pertama berhubungan seksual waktu itu sakit luar biasa. Saya tidak menikmatinya,” ujarnya.
Inge menemui kawannya yang berprofesi sebagai psikolog. Si kawan menyebut kondisi yang dialami Inge sebagai vaginismus. Dalam kamus kedokteran, vaginismus diartikan sebagai kondisi otot-otot sekitar vagina mengencang sehingga penetrasi sangat menyakitkan, bahkan tidak mungkin terjadi.
Inge lantas mencari tahu sindrom vaginismus itu. Dia memeriksa dirinya dengan cara merangsang diri sendiri. Hasilnya, dia terangsang.
Dia menyimpulkan sindrom yang dideritanya, berakar dari trauma akibat pernah mengalami pelecehan seksual.
Bagi Inge, hubungan seksual tidak sekadar penyatuan badan. Lebih dari itu, hubungan seksual merupakan penyatuan dua jiwa. Karena itu, hubungan seksual seharusnya dilandasi rasa penghormatan terhadap tubuh dan jiwa.
NHS Choices, situs kesehatan di Inggris, menulis vaginismus adalah pengencangan otot-otot dasar panggul sebagai antisipasi penetrasi ke vagina. Reaksi ini muncul jika perempuan menganggap penetrasi mengganggu, menyakitkan, menakutkan, atau berbahaya.
PENGALAMAN MASA LALU
Boyke Dian Nugraha, Spesialis Obstetri dan Ginekologi, mengatakan rangsangan tidak dapat dirasakan perempuan karena di kepalanya sudah terbayang pengalaman tidak menyenangkan pada masa lalu atau muncul takut yang berlebihan.
Dari defi nisi itu saja, bisa diterjemahkan bahwa vaginismus terjadi karena alasan psikologis. “Biasanya ada trauma. Mungkin dia dulu mau diperkosa, waktu kecil pernah dapat kekerasan, pernah dilecehkan, pernah lihat temannya diperkosa, atau mengalami aborsi. Kondisi-kondisi itu membentuk alam bawah sadarnya,” tutur Boyke.
Jika mendapati pasien vaginismus, Boyke mengklasifi kasikannya lebih dulu problem perempuan. Masuk ke tingkat ringan atau tingkat berat. Kalau termasuk tingkat ringan, beberapa kali konsultasi saja sudah bisa pulih.
Salah satu cara yang dilakukan Boyke adalah meminta perempuan atau pasangan memasukkan jarinya ke lubang vagina. Kalau beberapa kali dicoba perempuan tidak lagi merasa sakit, tandanya dia siap melakukan hubungan seksual secara utuh.
Menurut Boyke, bila lelaki mendapati pasangan perempuannya tidak bisa berhubungan seksual, janganlah marah dulu. Biarkan perempuan tenang. Biasanya Boyke menyarankan pasien untuk mandi berdua dengan pasangan, mempelajari anatomi tubuh pasangan.
“Saling memegang alat kelamin, mengeksplorasi. Sesudah dia sadar, sudah dekat, baru melakukan hubungan suami istri. Biasanya terbantu dengan cara itu,” kata Boyke.