Ekspo

Mengungkap Kisah Dr. Moewardi, Pahlawan Nasional yang Hilang Hingga Kini

Deliana Pradhita Sari
Sabtu, 14 September 2013 - 20:32
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Perjuangannya berakhir pada 13 September 1954, setelah dia diculik saat bertugas sebagai dokter di RS Jebres Solo pada 1948. Tak tahu sekarang dia dimana, kalaupun meninggal, tak tahu dimana jasadnya.

Begitulah kalimat yang terus diungkapkan pada acara Sarasehan dan Pembukaan Pameran Foto dengan tema Jejak Langkah Perjuangan Dr. Moewardi, Membangkit Batang Terendam yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI) belum lama ini di FKUI Salemba.

“Membangun batang terendam disini maksudnya adalah mengangkat nilai-nilai baik dari Dr.Moeawardi yang terpendam dengan sarasehan dan pameran foto,” ujar Dr. Doddy. P Partomihardjo, ketua ILUNI.

Lelaki dengan gelar pahlawan kemerdekaan nasional yang didapatnya melalui SK Presiden RI no. 190 tahun 1964 lahir di Pati pada 1907. Namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi di Solo, Jawa Tengah. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota seperti Jakarta (daerah Grogol), Cianjur (bypass), Solo (Kota Barat), Blitar dan Denpasar (Renon).

Perjalanan pendidikan Dr. Moewardi dimulai pada 1926. Dia tercatat sebagai mahasiswa tingkat III School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). Ia kemudian melanjutkan belajar di Nederlansch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter pribumi pada 1931. Setelah 5 tahun berpraktek sebagai dokter, ia kembali memperdalam ilmunya dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, Tenggorok (THT) di Geneeskundig Hoogeschool (GH) Salmeba dan menjadi asisten pada rumah sakit CBZ (sekarang RSCM). Dirinya resmi menadi dokter spesialis pada 1939.

Selain prestasinya dalam bidang ilmu kedokteran, Dr. Moewardi yang dikenal pandai beladiri pencak silat ini juga aktif dalam bidang kepanduan. Dia mempimpin Jong Java Padvinderii. Selain itu, ia juga terjun ke dunia jurnalistik dengan menerbitkan Koran Banteng. Di bidang industri, ia juga sempat mendirikan sebuah bank bernama Bank Banteng.

Pada era persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, Dr. Moewardi memegang peranan yang cukup penting. Ia merupakan ketua Barisan Pelopor  cabang Jakarta. Atas perintahnya, pada 16 Agustus 1945 Barisan Pelopor mempersiapkan pelaksanaan acara pembacaan teks proklamasi kemerdekann yang dilaksanakan di Pegangsaan Timur. Barisan Pelopor, bersama pasukan PETA (Pembela Tanah Air) juga turut membaca keamanan pelaksanaan acara tersebut.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Dr. Moewardi ditunjuk sebagai Ketua Umum Barisan Pelopor menggantikan Bung Karno yang diangkat menjadi presiden. Barisan pelopor yang awalnya bentukan Jepang diubah namanya menjadi Barisan Banteng pada akhir 1945. Awal 1946, Dr. Moewardi memindahkan Barisan Banteng dari Jakarta ke Solo karena semakain memanasnya situasi politik dan keamanan di  Jakarta pada saat itu.

Dr. Moewardi terjun ke politik dengan membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada Agustus 1948 untuk melawan aksi-aksi antipemerintah yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang merupakan anak buah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada tahun yang sama, ia berangkat praktek di rumah sakit Jebres seperti biasanya. Namun entah mengapa, keluarganya melarang ia untuk berangkat. Disitulah ia diculik dan tak dapat ditemukan-bahkan jasadnya-hingga sekarang. Sosok pahlawan yang tak berumur panjang, hanya 41 tahun sampai akhirnya ia tiada.

Hal yang harus dicontoh oleh sosok Dr. Moewardi adalah hidupnya yang ditempa dengan kejujuran, disiplin, kerja keras, tulus, memiliki jiwa kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan dalam segala bidang yang digelutinya.

BERKELUARGA

Pada 1932 ketika ia masih berstatus mahasiswa STOVIA, ia menikah dengan Istri pertamanya Suprapti. Dari pernikahan mereka menghasilkan 2 anak bernama Sri Sejati dan Adi Sudarsoyo. Namun pernikahan ini harus berakhir dengan meninggalnya sang istri pada 1935 karena gangguan rahim.

Ia memutuskan untuk menikah yang kedua kalinya pada 1939 dengan Susilowati. Dari pernikahan kedua, lahir 5 orang anak bernama Ataswarin Kamarijah, Kusumarita, Cipto Juwono, Banteng Witjaksono dan terakhir Happy Anandarin Wahyuningsih. Sebagian anak ada yang lahir di Jakarta, sebagian ada di Jawa Tengah. Dr. Moewardi menghabiskan dan mengabdikan seluruh hidupnya sampai akhirnya ia tiada.

Susilowati sebagai single parent mampu mengasuh semua anaknya sampai mereka mencapai gelar sarjana, jenjang perkawinan sampai berkeluarga.  Ia pun meninggal dunia pada 1998.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro