Bisnis.com, JAKARTA--“Kenapa harus saya habiskan? Saya matikan? Karena hati nurani saya yang mengatakan harus dihabiskan. Ini (kawat tipis panjang menjuntai) adalah salah satu yang paling cepat untuk menghabiskan nyawa manusia,” kata algojo pemimpin pembantaian Anwar Congo.
Salah satu film bertemakan pembantaian di Indonesia The Act of Killing atau Jagal berhasil tembus ke jajaran nominasi ajang perhelatan tahunan di Amerika, Academy Awards ke-86 dengan kategori Best Documentary Feature.
Film karya sutradara film dokumenter asal Amerika Serikat Joshua Oppenheimer ini bersetting di Medan, Sumatra Utara, dengan seluruh pemainnya adalah orang Indonesia. Film ini mengangkat pembantaian habis-habisan pada insiden G30S 1965 oleh paramiliter dan preman terhadap para terduga komunis.
Lewat perolehan nominasi yang baru diliris oleh situs resmi Academy Award pada 16 Januari kemarin, Joshua mengungkapkan rasa terimakasihnya dan menganggap nominasi tersebut memiliki nilai lebih dari sekedar penghargaan.
“Jagal (the Act of Killing) tidak akan ada tanpa penyintas genosida 1965, yang dengan berani menentang ancaman tentara untuk menyampaikan cerita mereka kepada kami, dan mengilhami kami untuk membuat film ini. Film ini juga tidak akan pernah ada tanpa awak film Indonesia tak bernama dan terutama ko-sutradara saya, Anonim,” ungkapnya.
Dia berharap bahwa nominasi tersebut akan menjadikan film Jagal dengan persoalan impunitas yang diangkatnya, menjadi headline surat kabar di Indonesia.
Hal ini bertujuan agar masyarakat Indonesia segera membicarakan secara serius bagaimana impunitas yang berkaitan dengan pembunuhan massal telah mengakibatkan kekosongan moral yang dipenuhi ketakutan, korupsi dan premanisme.
Seperti dikutip dari The Washington Post, film yang memakan waktu 8 tahun untuk proses pembuatan ini juga diharapkan mampu mendorong pemerintah Indonesia untuk, pada akhirnya, mengakui genosida 1965 dan rejim penebar ketakutan yang dibangun di atasnya sebagai sebuah bencana moral.
Selain itu dia juga bercita-cita agar nominasi ini mendorong rakyat Indonesia untuk menuntut para pemimpinnya agar bertanggung jawab atas kejahatannya baik itu genosida, korupsi, atau penggunaan preman untuk kerja-kerja kotor mereka.
Anonim, ko-suradara film ini mengatakan bahwa dipilihnya film Jagal dalam nominasi piala Oscar adalah sebuah kehormatan besar bagi jajaran sutradara dan para awak film Indonesia karena hal ini adalah sebuah pengingat atas segala yang terlupakan dan disembunyikan sepanjang sejarah gelap kemanusiaan.
Harapan terbesarnya adalah nominasi ini menjadi pengingat bagi khalayak luas bahwa kebenaran belum lagi diungkapkan, keadilan belum lagi ditegakkan, permintaan maaf belum lagi dikatakan, korban belum direhabilitasi apalagi mendapatkan kompensasi.
Diskriminasi terhadap para penyintas dan keluarga korban masih berjalan, sementara sejarah yang diajarkan di sekolah masih bungkam mengenai kekejaman bahkan menggambarkan pembantaian yang kejam terhadap mereka yang dituduh komunis itu sebagai perjuangan heroik.
“Semoga nominasi ini mengingatkan kita semua bahwa salah satu arsitek pembantaian massal masih mungkin akan diangkat sebagai pahlawan nasional tahun ini.Kami berharap nominasi ini akan mengingatkan kita, umat manusia di dunia, untuk selalu melawan lupa,” imbuhnya.
The Act of Killing atau Jagal sepenuhnya adalah adegan rekaman kilas balik pembantaian yang dilakukan Anwar Congo beserta anak buahnya yang tergabung dalam organisasi Pemuda Pancasila. Adegan per adegan didokumentasikan langsung oleh Sutradara Joshua dan ko-sutradara Anonim.
Para korban yang terbunuh merupakan pendukung Presiden Sokarno, anggota partai komunis, serikat buruh dan tani serta cendekiawan dan orang Tionghoa yang dituduh terlibag G30S. Dalam satu tahun, dengan bantuan negara Barat, lebih dari 1 juta orang “komunis” dibantai.
Para pembunuh, ironisnya, dengan bangga menceritakan tiap adegan pembunuhan. Mereka melakukan reka ulang dengan begitu heroik. Film ini mengikuti proses tersebut dan merekam akibatnya.
NYTimes.com menyebutkan film ini adalah jawaban dari pertanyaan “Mengapa para pembantai melakukan ini?”, “Untuk siapa mereka melakukan ini?”, “Apa makna perbuatan ini bagi mereka?”, Bagaimana mereka ingin terlihat?” dan Bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri?”.