Bisnis.com, JAKARTA - Dalam dunia seni rupa, nama Widayat relatif kurang dikenal, tidak seimbang dengan kehebatannya sebagai seniman. Harga karyanya pun jauh di bawah karya beberapa seniman muda selebriti. Padahal, Widayat telah memberikan kontribusi besar pada dunia pendidikan seni rupa di Indonesia.
Pria kelahiran Kutoarjo, 9 Maret 1919 dan wafat pada usia 83 tahun atau tepatnya 22 Juni 2002 itu, adalah juga seorang pengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), yang sekarang disebut ISI Yogyakarta, selama 34 tahun.
Dari hasil didikannya, telah melahirkan seniman-seniman besar, antara lain seperti Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Ivan Sagito, Made Djirna, HeriDono, Dadang Christianto. Widayat yang juga pernah belajar seni grafis di Jepang pada 1960-1962 itu pun memiliki pengaruh besar pada murid-muridnya.
Dia merupakan seniman yang melakukan pendekatan dengan menganut gaya dekoratif dua dimensional, khas Indonesia dan Asia Timur dalam karyanya.
Gayanya itu kemungkinan besar juga terbentuk lantaran terpengaruh saat dirinya belajar ke Jepang selama 2 tahun itu. Lukisan Jepang terkenal dengan gayanya yang oriental dandekoratif.
Bakat dekoratifnya itu juga terlihat pada Widayat sejak muda, yang sudah mahir membatik, karena memang ibunya adalah seorang pembatik ulung, jadi bakat ibunya juga menurun kepadanya.
Meskipun sejumlah penghargaan di bidang seni rupa telah dihasilkannya, nama Widayat relative masih kurang dikenal sebagai pelukis maestro, berbeda dengan Affandi, S. Sudjojono dan Hendra Gunawan yang merupakan pionir dalam senilukis Indonesia.
Oleh sebab itu, penulis buku ini, Oei Hong Djien yang begitu mengagumi kaya-karya H. Widayat, mengajak sahabatnya, Helena Spanjaard untuk menulis sebuah buku bertajuk Pioneer Number Four: H. Widayat.
Oei Hong Djien, sahabat Widayat selama 14 tahun terakhir, yang telah lama mengoleksi lukisan H. Widayat selama seperempat abad sejak 1988, ingin mempersembahkan buku ini sebagai upaya untuk mengangkat nama besar H.Widayat.
Dalam buku yang didukung penuholeh Bakti Budaya Djarum Foundation ini terdiri dari 224 halaman, dengan disertai gambar 133 lukisan cat minyak ataupun akrilik di atas kanvas. Ada yang bertema kapal Nabi Nuh, permainan anak-anak, pertunjukan kesenian tradisional, kubisme, flora dan fauna, keluarga kecil dengan dua anak, serta sejumlah lukisan abstrak karya Widayat.
Di samping itu juga menampilkan berbagai medium yang dimanfaatkan Widayat selama kurun waktu 45 tahun terakhir, dalam menumpahkan ide-idenya, seperti di atas kertas, keramik, marmer, dan objek tiga dimensilainnya. Dalam buku berbahasa Inggris ini, selain menampilkan sejumlah koleksi OHD Museum, juga ada karya guru, teman, dan murid Widayat sebagai pembanding.
Buku yang ditulis oleh Oei Hong Djien dan Helena Spanjaard, seorang ahli sejarah seni rupa modern Indonesia kelahiran Belanda itu, dipersiapkan dalam kurun waktu 2 tahun. "DrOei Hong Djien adalah sosok yang sangat kredibel di bidang seni rupa khususnya lukisan dan beliau mengagumi sosok H Widayat sebagai seniman yang menghasilkan karya-karya yang menarik," tutur Helena Spanjaard, belum lama ini.
Menurutnya, hasil karya Widayat ini mengandung decak kagum para pakar dari luar negeri dan sudah selayaknya Widayat bias diperhitungkan dalam daftar pionir seni lukis di Indonesia.
"Sudah saatnya masyarakat mengapresiasi dan mengenal kehebatan Widayat sebagai seorang seniman yang memajukan dan melestarikan senirupa Indonesia," tutur Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, yang mendukung penuh lahirnya buku ini.
Judul | Pioneer Number Four : H. Widayat |
Penulis | DR Helena Spanjaard dan Dr Oei Hong Djien |
Penerbit | OHD Museum |
Halaman | 224 halaman |
ISBN | 978-602-18002-3-2 |