Bisnis.com, JAKARTA - Goresan khas pelukis China telah dikenal pada abad ke-7, tepatnya sejak Jenderal Besar Dinasti Tang bernama Li Shixun gemar melukis pemandangan.
Pada perkembangannya, penggunaan tinta China pada lukisan bernuansa alam dan tradisi yang kaya filosofi menjadi identitas seni lukis negeri Tirai Bambu. Ciri khas tersebut masih terus dipertahankan dan dijadikan strategi kebudayaan para pelukis China, di tengah mengglobalnya corak seni kontemporer.
Corak tersebut yang dapat Anda lihat dalam pemeran yang diselenggarakan oleh Indonesia-China Art Association di Museum Nasional, dengan mengangkat tajuk Hikayat Air .
Pameran Hikayat Air secara tersirat menceritakan riwayat perjalanan lukisan cat air, melalui sejumlah karya terbaru pelukis China yang tinggal di sejumlah penjuru dunia mulai dari Singapura, Taiwan, Malaysia, dan Amerika Serikat.
Karya para pelukis China tersebut diseimbangkan dengan lukisan cat minyak karya pelukis dari Indonesia. Tidak mengherankan jika ruang pameran di Museum Nasional terbagi menjadi dua, bagian yang memajang lukisan cat air, dan bagian yang khusus memajang lukisan cat minyak.
Lukisan cat minyak karya pelukis Indonesia terlihat mengusung tema yang bersentuhan dengan budaya China. Contohnya saja karya Kartika Affandi yang menggambar sosok perempuan tua dalam lukisan berjudul Penjual Mainan di Beijing (akrilik di atas kanvas /100 x 120 cm/1994).
Pelukis I Made Sukadana menggambar obyek Barong yang digambarkan mengenakan sepatu kungfu dalam lukisannya berjudul Sepatu Kungfu (akrilik di atas kanvas/200 x 220 cm/2014), dan Barong ICAA (akrilik di atas kanvas/180x200 cm/2014). Sementara itu, pelukis Hanafi mencitrakan bayang-bayang kekuasaan kaligrafi China kuno dalam lukisannya berjudul Kaligrafi (akrilik di atas kanvas /190 x 175 cm).
KLASIK CHINA
Sementara itu, dalam ruang pamer yang khusus memajang lukisan dari cat air menampilkan lukisan bertema pemandangan, potret perempuan Tiongkok, dan tradisi China.
Lukisan pemandangan itu merupakan wujud kesetiaan pelukis terhadap ajaran nenek moyang, yang menuturkan bahwa pelajaran terbaik bagi manusia adalah alam semesta yang membentang di hadapannya.
Pencitraan bergaya surealis yang ditampilkan oleh seniman Zhang Xue Hong.
Karya kaligrafi Zhang yang melukiskan pemandangan bukit itu, digoreskan di atas kertas berukuran 136 cm x 68 cm, dengan media tinta China di atas kertas. Bentuk abstrak modern ditampilkan oleh pelukis Liu Ke Ming. Seniman yang dijuluki sebagai Picasso China ini terkenal dengan ciri khas corak abstrak, dan warna-warni.
Pada karya yang dipamerkan kali ini, Liu berupaya termenggali kemahsyuran dinasti besar di China. Salah satunya tampak dalam karyanya berjudul Wajah Indah Istana Han (122 cm x 99 cm). “Dalam inovasi karya, saya selalu membawa nilai budaya tradisi yang saya padukan dengan nilai-nilai globalisasi,” ujar Liu Ke Ming.
Menurutnya, jika seorang seniman melupakan tradisinya, sama artinya dengan dia melupakan jati dirinya.
Di sisi lain, seniman tidak boleh menutup diri sama sekali dari arus globalisasi. Seniman yang baik harus dapat memadukan tradisi dan arus globalisasi agar karyanya tetap mempunya karakter khas yang mempunyai daya saing kuat di pasar seni internasional.
Shao Fei, yang juga dikenal sebagai seniman yang sering meluapkan kegembiraan melalui warna-warna cerah dan tarikan-tarikan tegas, terpatah-patah, dan unik dalam karyanya, kali ini mengusung lukisan berjudul Kupu-Kupu di Juntaian Bunga (119 x 90 cm) yang didominasi dengan warna cerah seperti ungu, kuning, merah dan hijau.
Meskipun Shao yang dikenal sebagai seniman dengan aliran decorative fantasy painting, seniman perempuan ini tetap setia melukiskan citra perempuan China yang berciri bermata sipit, garis hidung yang tegas, dan bibir yang mungil.
Kurator Agus Dermawan dalam pengantarnya menuturkan bahwa karya yang dipamerkan kali ini sebagian besar mencerminkan orientasi jalan hidup pelukis yang masih berdasar pada petuah lama, yang sebagian besar berpusat kepada pesan filosofis Kong Hucu, Dao, dan Buddha (Zen).
“Lukisan ini berpeluang untuk ditafsirkan sebagai terjemahan puitis dari sikap manusia yang jadi pertapa,” ujarnya. (DEANDRA SYARIZKA & DIENA LESTARi)