Bisnis.com, JAKARTA - Pernahkah Anda menjumpai seorang anak menangis histeris atau mengamuk di tempat umum karena keinginannya tidak dituruti? Sering kali orangtuanya pun merasa panik dan bingung menghadapi situasi seperti itu di depan orang banyak.
Kejadian tersebut bisa menimpa anak dan orangtua manapun. Dalam fase meluap-luap itu, anak dikatakan sedang mengalami tantrum. Lantas, bagaimana memahami, mencegah, dan mengatasi anak tantrum?
Untuk menjawabnya, terlebih dahulu Anda harus memahami makna tantrum itu sendiri. Psikiater dan dokter spesialis anak dari RS Cipto Mangunkusumo Tjhin Wiguna menjelaskan tantrum pada intinya adalah situasi ledakan emosi yang berlebihan.
Ledakan emosi atau tantrum itu biasanya bersifat ekstra agresif, yang kerap kali dibarengi dengan tindakan-tindakan tak terkendali seperti memukul orang lain, melempar benda-benda, atau justru perilaku destruktif seperti menyakiti diri sendiri.
“Tantrum itu variasinya luas sekali. Hampir setiap tantrum pasti memiliki latar belakang tertentu. Tidak mungkin anak mengalami fase tantrum begitu saja. Demikian pula sebaliknya, anak yang mengalami tantrum belum tentu mengalami gangguan psikologis,” jelasnya.
Pada dasarnya, lanjutnya, tantrum pada anak usia dini kerap kali dipicu oleh keinginan yang tidak terpenuhi. Ledakan emosi pun dapat terjadi pada siapa saja, mulai dari anak yang hiperaktif hingga anak yang tertutup sekalipun.
Tjhin, yang juga mengajar di Divisi Psikiater Anak dan Remaja Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, menjabarkan tantrum sebenarnya tidak mengenal batasan usia. Orang dewasa sekalipun dapat mengalaminya.
“Tidak ada istilah ‘tantrum biasa terjadi pada range usia sekian’. Siapa saja bisa mengalaminya. Namun, tantrum dapat dibedakan berdasarkan usia, misalnya, tantrum yang terjadi pada anak pada masa perkembangan, berbeda dengan tantrum pada anak remaja.”
Pada usia 0-3 tahun, anak sedang dalam masa perkembangan sehingga masih belum memahami batasan dan perbedaan waktu dan tempat. Sehingga, mereka cenderung tidak dapat mengendalikan kapan dan di mana emosi mereka meledak.
Pada usia sekolah, tantrum bisa terjadi pada anak-anak dengan kepribadian tertutup, yang tidak mempunyai teman, atau yang kerap menjadi korban bully di sekolah. Pada masa remaja, tantrum pun dapat menimpa anak yang sedang putus asa.
Bagaimanapun, faktor penyebab tantrum pada anak kerap kali justru berasal dari dalam lingkungan keluarga. Anak yang rentan mengalami tantrum biasanya memiliki orangtua yang terlalu memanjakannya atau justru terlalu otoriter.
Akibat latar belakang keluarga yang demikian, anak berpotensi menumbuhkan sifat egosentris, berdaya tahan lemah, berkemampuan adaptasi lemah, serta tidak mampu menunda keinginannya.
PERAN ORANGTUA
Oleh karena itu, peran orangtua sangat krusial untuk mencegah anak tantrum. Tjhin mengatakan sedini mungkin orangtua harus sudah memberikan pemahaman tentang prioritas dan mengajarkan bahwa ‘segala sesuatu ada waktunya’.
Sekalipun anak mengalami masa tantrum, orangtua disarankan untuk tetap bersikap tegas. “Namun bukan berarti didiamkan begitu saja. Banyak orang yang salah berpikir bahwa saat anak mengamuk, sebaiknya didiamkan saja.”
Jika anak ‘meledak’, hal pertama yang harus dilakukan orangtua adalah meredamnya. Salah satu cara adalah dengan memegangi si anak agar jangan sampai menyakiti diri sendiri atau menyerang orang lain. Sebab, perilaku anak yang sedang tantrum tidak terkontrol.
Selain itu, sebaiknya jangan terlalu banyak menasehati atau mengajaknya bicara. Sebab, anak dalam fase tantrum dengan emosi membuncah, tidak dapat menyerap nasihat karena tengah dikuasai oleh emosi.
“Jangan juga langsung dituruti keinginannya. Pegangi dan redam anak, biarkan emosinya meluap 15-30 menit. Kalau tetap tidak bisa diam, kita ajak negosiasi. Namun, orangtua harus menempatkan dirinya secara tegas, kalau tidak ya tidak.”
Lambat laun, anak akan mengerti dengan sikap orangtuanya, sehingga bisa mengontrol keinginan dan emosinya.[]