Bisnis.com, JAKARTA - Klaim Pengurus Persatuan Produser Film Indonesia Sys NS bahwa Festival Film Indonesia lahir dari PPFI dibantah keras.
Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), Kemala Atmojo mementahkan semua pernyataan Sys NS. “Dia mengarang cerita. Mungkin karena tidak tahu sejarah FFI atau ada sesuatu di balik pernyataannya itu,” kata Kemala.
Menurut Kemala, setidaknya terdapat dua argumen yang bisa mementahkan klaim sepihak Sys NS, yakni sisi historis dan sisi legalitas.
Dilihat dari sisi historis, menurut Kemala, FFI pertama sudah digelar pada 1955. Ketika itu, yang menjadi penyelenggara terdapat unsur pemerintahan, seperti walikota dan menteri, serta didukung banyak pihak perseorangan.
Adapun PPFI sendiri, baru didirikan pada 1956 atau setahun kemudian. “Dilihat dari tahunnya saja sudah jelas. Bagaimana mungkin PPFI melahirkan FFI, padahal FFI sudah diselenggarakan sebelum PPFI ada,” kata Kemala.
Setelah PPFI lahir, ternyata penyelenggaraan FFI sempat berhenti beberapa tahun, yakni pada 1956-1959. Kevakuman terjadi karena tidak ada kaitan antara PPFI dan FFI.
Barulah pada 1960, FFI kembali diadakan secara rutin. Sama seperti penyelenggaraan pertama, lanjut Kemala, sejak pagelaran kedua pun, FFI diadakan oleh pemerintah. Adapun yang ditunjuk sebagai penyelenggara pada pelaksanaan FFI kedua, adalah Yayasan Film Nasional.
Kedua, dari sisi legalitas dan logika Undang-Undang, karena FFI merupakan program pemerintah, sah jika pemerintah selalu bekerja sama dengan badan atau lembaga yang diakui legalitasnya di dalam undang-undang.
“Satu-satunya badan yang disebut di dalam UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan Keppres Nomor 32 Tahun 2014 tentang Badan Perfilman Indonesia, adalah BPI,” lanjut Kemala.
Menurut Kemala, penunjukkan BPI legal, sah, dan sangat logis karena BPI disebut di dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut. BPI merupakan representasi masyarakat perfilman nasional, yang antara lain tugasnya menyelenggarakan festival.
“BPI adalah wadah dari semua organisasi. Jadi masuk akal kalau pemerintah bekerja sama dengan BPI. Justru yang tidak masuk akal, kalau pemerintah kemudian menunjuk wadah di luar BPI karena tidak tercantum di dalam UU,” kata Kemala.
Selama ini FFI adalah program pemerintah, maka PPFI sama sekali tidak berhak mengklaim bahwa kegiatan tersebut adalah milik PPFI, apalagi lahir dari PPFI. Namun, kalau ada yang merasa memiliki, karena Indonesia adalah negara hukum, maka silakan saja mengajukan gugatan lewat jalur hukum.
“Silakan menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan masalah termasuk FFI.
Kalau ada yang merasa memiliki FFI, monggo saja perselisihan diselesaikan melalui jalur >hukum. Gampang *kan*?” kata Kemala.
Anggota Komisi X DPR Sofyan Tan juga membenarkan sejak awal pelaksanaan tahun 1955, FFI merupakan program dari pemerintah, yang dalam pelaksanaannya selalu menggandeng pihak lain.
Memang, awalnya pelaksanaan FFI belum setertib saat ini, tetapi tetap saja peran pemerintah sangat besar saat itu.
Dalam pelaksanaannya, lanjut Sofyan, terjadi beberapa kali kevakuman penyelenggaraan karena kondisi yang tidak memungkinkan. Namun tetap saja, kevakuman tersebut bukan berarti menggugurkan pemerintah sebagai “pemilik” FFI karena pelaksanaan FFI, selama ini juga menggunakan dana APBN.
Untuk tahun ini, lanjut Sofyan, yang bertindak sebagai pemegang program tersebut adalah Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf) yang diketuai Triawan Munaf.
Menurut rencana, Komisi X akan menggelar raker dengan Barekraf pada 20 Oktober 2015, untuk membahas pelaksanaan FFI. “Intinya, kami ingin mendorong film nasional agar berkembang di negeri sendiri,” kata Sofyan.
Jajang C. Noer, artis senior papan atas Indonesia juga mengamini bahwa tahun lalu pun, FFI merupakan program pemerintah. Dan untuk menyelenggarakan program tersebut, pemerintah kemudian menurunkan SK untuk menunjuk BPI sebagai pelaksana kegiatan. “Saya ingat, karena ketika itu diminta menjadi salah satu juri,” kata Jajang.
Begitupun, Jajang mengaku kurang paham siapa “pemilik” program FFI ini sebelumnya. Hanya saja yang dia ingat, ketika pertama kali menapaki dunia film di era 1970-an, ketika itu sudah ada keterlibatan Menteri Penerangan saat itu, Ali Murtopo. “Saya waktu itu masih anak bawang, jadi belum begitu paham. Tapi saya ingat bahwa di dalamnya memang ada Ali Murtopo. Dan karena sebagai menteri penerangan, tentu saja Ali Murtopo mewakili pemerintah saat itu,” lanjut Jajang.