Bisnis.com, BANGKOK - Sekelompok penjaja makanan terlihat tertib berjualan di sisi trotoar, mulai dari penjual buah- buahan segar, makanan kecil, pakaian, sepatu, hingga berbagai pernak-pernik.
Para pengujung juga terlihat asyik menawar barang dagangan, terlebih ketika hampir semua produk dijual dengan harga yang terjangkau. Namun, aktivitas jual beli di sisi jalan itu tidak membuat jalanan menjadi sempit dan macet, karena trotoar yang digunakan untuk berjualan cukup lebar, sehingga menyisakan ruang untuk leluasa begerak.
Inilah kesan pertama saya mengenai Pasar Malam Pratunam atau Pratunam Night Market, salah satu destinasi belanja para turis yang terletak di pusat Kota Bangkok, Thailand.
Saya dan seorang rekan berkesempatan mengunjungi Negeri Gajah Putih itu pada pertengahan Januari 2016. Kami menghabiskan 4 hari 3 malam untuk membuktikan beberapa predikat yang melekat pada Thailand; Negeri Pagoda, Surga Belanja, hingga ladyboy.
Dengan mayoritas penduduk beragama Budha, tidak mengherankan memang jika negeri ini dipenuhi candi dan pagoda. Menurut Lutfee Umumi, warga asli Thailand yang menjadi pemandu wisata kami, ada lebih dari 30.000 candi yang tersebar di seantero negeri.
Lutfee dengan Bahasa Indonesia yang fasih menjelaskan pada kami bahwa setiap desa setidaknya memiliki satu candi untuk warga beribadah. Bahkan, di Bangkok terdapat sekitar 3.000 candi yang tersebar dalam 50 daerah berbeda.
Kami berkesempatan mengunjungi tiga candi, yakni Wat Pho atau Patung Budha Tidur, Wat Intharawihan atau patung Budha Berdiri, serta Wat Arun atau Candi Fajar. Semua candi ini terletak di Kota Bangkok, dan memungkinkan untuk dikunjungi dalam satu hari.
Salah satu candi yang menjadi ikon adalah Wat Pho, atau yang juga terkenal disebut The Temple of The Reclining Buddha. Letaknya strategis di Kota Bangkok, bersebelahan dengan Istana Raja. Untuk bisa mengunjungi Wat Pho, setiap pengunjung dikenakan tiket seharga 100 Baht, atau sekitar Rp40.000.
Nuansa Spriritual
Ketika memasuki kompleks Candi Wat Pho, saya langsung mengagumi arsitektur candi dan suasana spiritual yang menyelimutinya. Saat itu sedikit gerimis sehingga menciptakan hawa yang sejuk. Saya mengabadikan beberapa gambar sambil mendengarkan para biksu yang melantunkan doa-doa.
Wat Pho adalah salah satu candi tertua di Thailand, dan dibangun saat masa Pemeritahan Raja Rama I, pada 1688 hingga 1703. Di kompleks candi ini, kita bisa melihat Patung Buddha Tidur yang membentang sepanjang 46 meter dan setinggi 15 meter yang terletak di salah satu ruangan.
Pengunjung juga bisa berdonasi dengan menukar uang senilai 20 baht atau sekitar Rp4.000 dengan setumpuk koin yang ditaruh di dalam mangkuk tembaga. Nantinya, masing-masing koin itu diberikan kepada 108 mangkuk tembaga yang merepresentasikan 108 karakter Buddha. Donasi ini akan digunakan para biksu untuk merawat kompleks candi.
Tak jauh dari Wat Pho, kami beranjak mengunjungi Wat Intharawihan atau patung Budha Berdiri, yang terletak tak jauh dari Sungai Chao Phraya. Pembangunan patung Buddha ini dimulai pada masa pemerintahan Raja Rama IV, yakni pada 1867 dan selesai pada 1927.
Adapun Patung Buddha Berdiri ini memiliki tinggi 32 meter dan lebar 10 meter. Letaknya yang besar tampak dominan dalam kompleks candi. Pengunjung umumnya mengabadikan gambar dengan latar belakang patung tersebut, selebihnya tak banyak yang bisa dilakukan di kompleks ini.
Untuk mengunjungi Wat Pho dan Wat Intharawihan, beragam moda transportasi bisa kita coba, mulai dari taksi, bis, hingga Tuk Tuk, kendaraan khas Thailand yang bentuknya mirip dengan Bajaj. Namun, jika ingin mengujungi Wat Arun, pengunjung harus menyeberangi Sungai Chao Phraya dengan menggunakan perahu kecil.
Di Wat Arun ini, tak ada patung Buddha monumental, seperti yang ada di Wat Pho dan Wat Intharawihan. Saya mengujungi Wat Arun ketika beberapa candi sedang dipugar. Kendati demikian, hal tersebut tetap tak mengurangi keindahan yang terlihat.
Nama Wat Arun atau The Temple of Dawn diambil dari nama Dewi Hindu, Aruna, yang berarti sinar kemerahan yang timbul di ufuk timur saat matahari terbit. Candi ini telah berusia 200 tahun lebih, dan dibangun higga masa pemerintahan Raja Rama II, yakni pada awal abad ke-19.
Masih di dalam kompleks Candi Wat Arun, terdapat kios-kios yang menjual pernak-pernik khas Thailand. Uniknya, hampir seluruh penjual mampu berbahasa Indonesia dengan fasih, sehingga transaksi bisa dilakukan dalam Bahasa Indonesia dan menggunakan mata uang Rupiah.
Bagi Anda yang ingin melihat sisi lain Thailand, maka Pattaya patut menjadi tujuan. Ada satu hal yang sayang untuk dilewatkan bila berkunjung ke sana, yakni menyaksikan pertunjukan Kabaret ladyboy, atau laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan (transgender).
Saya berkesempatan menyaksikan pertunjukan Kabaret Ladyboy di Colosseum Cabaret Show Pattaya, salah satu gedung pertunjukan yang baru dua tahun dibangun. Dengan harga tiket senilai 700 baht, atau sekitar Rp280.000, saya menyaksikan kabaret ladyboy yang atraktif dan menghibur.
Setelah beres pertunjukan, pengunjung pun berkesempatan berpose dengan para ladyboy dengan terlebih dahulu memberikan tips senilai 20 Baht, atau sekitarRp8.000.
Bagi saya, pertunjukan Kabaret Ladyboy ini menciptakan imaji lain dari Thailand, yang di satu sisi kental suasana religi dengan pagodanya, tetapi di sisi lain masih memberikan ruang bagi kaum transgender untuk berekspresi. Barangkali, itulah salah satu pesona utama Negeri Gajah Putih ini.